Posisi Kontrol Guru dalam Menciptakan Budaya Positif
Seorang guru tak hanya bertugas mengajar di kelas. Guru bukan hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran pada siswa-siswanya. Lebih dari itu, guru memiliki peran dalam menciptakan budaya positif di sekolah. Guru juga memiliki posisi kontrol dalam menciptakan budaya positif di sekolah. Tulisan ini selanjutnya akan membahas tentang bagaimana posisi konrol guru dalam menciptakan budaya positif di sekolah.
Pengertian Budaya Positif
Budaya positif menjadi kajian yang penting dalam penerapan kurikulum saat ini, Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka menjadikan budaya positif sebagai salah satu filosofi dalam modul program guru penggerak. Budaya positif ini juga merupakan buah pikiran dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pada Kurikulum Merdeka, siswa diharapkan memiliki Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila artinya karakter-karakter yang bersumber dari nilai-nilai yang ada Pancasila itu sendiri. Dengan memiliki profil tersebut, siswa akan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bernalar kritis, kreatif, mandiri, dan gotong royong.
Profil pelajar Pancasila ini hanya bisa tumbuh pada sekolah yang menerapkan budaya positif. Di sinilah pentingnya budaya positif di sekolah. Lantas, apa itu budaya positif?
Budaya positif adalah wujud dari penerapan nilai-nilai atau keyakinan universal yang dilakukan di sekolah dalam pembelajaran. Budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada siswa. Dengan budaya positif, siswa bisa tumbuh menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat, dan bertanggung jawab.
Perwujudan budaya positif di sekolah ini terlepas dari pentingnya peran guru. Guru memiliki peran sentral dalam mewujudkan budaya positif di sekolah. Guru perlu memahami posisi yang tepat untuk mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.
Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan sebab guru juga bertindak sebagai pamong bagi siswa-siswanya. Guru diharapkan mampu menuntun siswa-siswanya menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dua konsep penting dalam menciptakan budaya positif di sekolah adalah posisi kontrol guru dan disiplin positif.
Dalam konteks kelas, posisi guru bisa dikatakan sebagai penggerak utama. Hal ini juga berpengaruh dalam menciptakan budaya positif di sekolah. Terwujudnya budaya positif tentu harus menghadapi beberapa tantangan. Tentu saja dalam menyelesaikan tantangan-tantangan ini, guru tak hanya memerlukan satu cara. Guru perlu melakukan beragam cara dalam menegaskan posisi kontrolnya saat mewujudkan budaya positif di sekolah.
Posisi Kontrol Guru dalam Menciptakan Budaya Positif
Bagaimana posisi kontrol guru dalam menciptakan budaya positif di sekolah? Diane Gossen dalam bukunya yang berjudul Restitution-Restructuring School Disipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di ruang-ruang kelas selama ini. Apakah sudah efektif? Apakah sudah memerdekakan dan mememandirikan? Bagaimana penerapannya dan mengapa menggunakan metode tersebut?
Melalui berbagai riset yang telah dilakukan dan bersandar pada teori kontrol dari Dr. William Glasser, Gossen menyimpulkan ada lima posisi kontrol yang bisa dilakukan guru dalam menciptakan budaya positif di sekolah.
Penghukum
Seorang penghukum sering kali memakai hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum senantiasa berpendapat bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang lebih menekan siswa-siswa lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum sering kali berkata:
“Patuhi peraturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu salah!”
Guru yang seperti itu senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu dilakukan dengan caranya saja. Akibatnya, siswa akan terlihat patuh dan disiplin karena ketakutan, bukan atas dasar kesadaran sendiri.
Pembuat Orang Merasa Bersalah
Guru juga bisa di posisi pembuat orang merasa bersalah. Kesempatan ini memberikan guru peluang untuk bersuara menjadi lebih lembut. Dengan kondisi ini, siswa akan merasakan keheningan yang dapat membuat mereka menjadi tidak nyaman, merasa bersalah, hingga menjadi rendah diri. Beberapa contoh kalimat yang dapat diucapkan guru agar siswa merasa bersalah, misalnya:
“ Bapak sangat kecewa padamu.”
“ Harus berapa kali ibu harus memberitahu kamu ya?”
"Bagaimana jika ibu memberitahu perilakumu ini kepada orang tuamu ya? Apa tindakan mereka?"
Pada posisi seperti ini, guru membuat siswa memiliki penilaian yang buruk tentang dirinya. Siswa akan menganggap dirinya tidak berguna. Siswa merasa bersalah karena telah mengecewakan orang-orang yang disayanginya.
Teman
Pada posisi sebagai teman ini, guru tidak akan menyakiti murid, melainkan berusaha mengontrol siswa secara persuasif. Namun, sejatinya posisi ini bagai dua sisi mata uang, ada sisi positifnya dan juga posisi negatifnya.
Sisi positifnya, hubungan antara guru dan siswa menjadi baik. Guru yang menggunakan posisi sebagai teman ini akan menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Guru akan berkata:
“ Ayo bantulah, demi ibu ya!”
“ Ayo ingat tidak bantuan ibu selama ini?”
“ Ya sudah, kali ini tidak apa-apa. Nanti bapak bantu bereskan.”
Sebeliknya, sisi negatif dari posisi teman ini adalah jika suatu saat guru tidak bisa membantu siswa, maka siswa akan kecewa dan menganggap bahwa dirinya bukan teman lagi. Saat siswa merasa dikecewakan, terkadang mereka enggan untuk berusaha kembali. Siswa hanya bergantung pada guru tersebut. Siswa memiliki perilaku yang berbeda-beda terhadap guru-gurunya.
Monitor/Pemantau
Memonitor ini artinya mengawasi. Pada saat guru mengawasi, guru bertanggung jawab kepada perilaku siswa-siswa yang diawasi. Posisi sebagai monitor atau pemantau ini berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi yang ada.
Dengan menggunakan sanksi atau konsekuensi, guru bisa memisahkan hubungan pribadi dengan siswa, sebagai seseorang menjalankan posisi memantau. Pertanyaan yang sering diajukan oleh pemantau biasanya:
“ Peraturannya apa?”
“ Apa yang sudah kamu lakukan?”
“ Sanksinya apa?”
“ Apa konsekuensi yang harus kamu tanggung?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat dijadikan bukti atas perilaku orang lain. Pada posisi ini, guru sering kali menggunakan stiker, slip catatan, dan daftar cek. Posisi monitor/pemantau ini berawal dari teori stimulus dan respons yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol siswa.
Manajer
Posisi terakhir guru dalam menciptakan budaya positif, adalah posisi manajer. Posisi manajer ini artinya guru bertindak sebagai mentor. Pada posisi ini, guru bersama-sama dengan siswa melakukan sesuatu. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawab atas tindakannya dan mendukung siswa agar bisa menemukan solusi sendiri atas permasalahan yang dihadapinya.
Siswa diajak untuk bisa menganalisis kebutuhan dirinya maupun kebutuhan orang lain. Penekanannya bukan pada aspek konsekuensi, melainkan bisa berkolaborasi dengan siswa dalam memperbaiki keselahan yang ada. Saat berada di posisi manajer, guru akan berkata:
“ Apa yang kita yakini?”
“ Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“ Apa rencanamu untuk memperbaiki ini?”
Seorang manajer membimbing siswa untuk bisa mengatur dirinya sendiri.
Dari kelima posisi di atas, bisa dikatakan jika posisi kontrol guru dalam menciptakan budaya posistif yang paling tepat adalah menjadi seorang manajer. Pasalnya, pada posisi inilah guru bisa menjadikan siswanya pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Demikian artikel tentang bagaimana posisi konrol guru dalam menciptakan budaya positif di sekolah. Semoga artikel ini bisa membantu Anda dalam memahami bagaimana posisi konrol guru dalam menciptakan budaya positif di sekolah.