Pola Asuh yang Harus Diterapkan Agar Anak Berprestasi
Anak merupakan sebuah karunia paling indah yang diberikan oleh Tuhan. Setiap memandangnya, kita akan bersyukur karena mempunyai replika nyata dari diri kita sendiri. Karunia yang tidak ternilai harganya, yang membuat setiap orang tua mempunyai harapan untuk menjadikan anaknya menjadi pelita dalam hidupnya. Tidak bisa terlukiskan dengan kata-kata betapa bahagianya mempunyai kesempatan untuk menjadi orang tua, kesempatan untuk mendidik, mengasuh, dan yang pasti adalah mencintainya sepenuh hati.
Setiap orang tua mempunyai keinginan untuk menjadikan segalanya yang terbaik untuk perkembangan anaknya. Segalanya dilakukan agar sang anak bisa bertumbuh dan berkembang dengan maksimal. Pastinya, orang tua mempunyai harapan besar agar putra putrinya bisa berprestasi. Namun demikian, tidak semua orang tua mengerti pola asuh yang tepat untuk anaknya, terlebih untuk bisa menjadi siswa berprestasi di sekolahnya.
Lalu, apa pola asuh yang harus diterapkan agar anak bisa berprestasi?
Penelitian yang dilakukan oleh American Journal of Social and Management Science menyebutkan bahwa pola asuh yang paling tepat untuk diaplikasikan agar anak bisa berprestasi adalah pola asuh authoritative atau yang lebih kita kenal sebagai pola asuh demokratis. Sebelum lebih lanjut membahas mengenai pola asuh demokratis, mari kita bahas dahulu pola asuh. Jadi, apa sebenarnya pola asuh itu? Parenting atau pola asuh adalah kegiatan kompleks yang mencakup banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama-sama untuk memengaruhi hasil anak (Darling, 1999).
Gaya pengasuhan telah didefinisikan berdasarkan dua dimensi perilaku orang tua, yaitu kontrol (ketegasan, tuntutan) dan kehangatan (afeksi, responsif) (Baumrind, 1971; Lamborn et al.,1991; Maccoby & Martin, 1983). Parenting style merupakan serangkaian sikap yang ditunjukkan orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi orang tua-anak (Baumrind, 1991). Adapun menurut Darling dan Steinberg (1993), parenting style merupakan sekumpulan sikap orang tua terhadap anak yang dikomunikasikan kepada anak dan menciptakan suasana emosional di mana perilaku orang tua diekspresikan.
Gaya pengasuhan adalah konstruksi yang kompleks yang mencakup banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama-sama untuk memengaruhi hasil anak (Baumrind, 1967). Perilaku tersebut meliputi interaksi antara orang tua dan anak-anak mereka, serta nilai-nilai dan kepercayaan orang tua yang membentuk perkembangan anak-anak mereka. Pada masa remaja, gaya pengasuhan sering diidentifikasi dengan pengamatan atau persepsi remaja tentang perilaku orang tua mereka pada tiga dimensi utama, yaitu responsif, pengawasan, dan pemberian otonomi (Chen, 2015).
Pembagian tipe Parenting style
Baumrind (1991) membagi tipe parenting style (gaya pengasuhan) menjadi tiga bagian, yakni tipe authoritarian, authoritative, dan permissive. Ketiga tipe ini dibagi berdasarkan tingkat tuntutan dan responsif (Baumrind, 1967).
Orang tua dengan gaya pengasuhan authoritarian cenderung menuntut dan mengarahkan, tetapi tidak responsif. Mereka taat dan berorientasi pada status dan mengharapkan perintah mereka ditaati dengan penjelasan. Mereka menyediakan lingkungan yang tertib, dan serangkaian peraturan yang jelas, dan memantau kegiatan anak-anak mereka dengan cermat (Baumrind, 1991). Orang tua yang otoriter juga lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan metode persuasi yang lebih lembut, itu berarti bahwa mereka cenderung rendah dalam kasih sayang, pujian, dan penghargaan dengan anak-anak mereka untuk memotivasi anak (Keshavarz & Baharudin, 2009).
Berbeda dengan pola asuh authoritarian, orang tua dengan gaya pengasuhan authoritative cenderung menuntut dan responsif. Mereka memantau dan memengaruhi standar yang jelas untuk perilaku anak-anak mereka. Mereka asertif, tetapi tidak mengganggu atau membatasi. Metode disipliner mereka lebih mendukung daripada menghukum. Mereka ingin anak-anak mereka bersikap tegas, bertanggung jawab secara sosial, dan mandiri serta kooperatif (Baumrind, 1991). Orang tua dengan gaya pengasuhan authoritative paling efektif dalam memupuk tanggung jawab sosial, rasa harga diri, kepercayaan diri dan kemampuan beradaptasi pada anak-anak mereka untuk memenuhi tantangan konteks akademik dan lainnya di mana keyakinan kuat dalam kemampuan seseorang diperlukan (Keshavarz & Baharudin, 2009).
Adapun pada orang tua dengan gaya pengasuhan permissive atau direktif lebih responsif daripada yang mereka tuntut. Mereka nontradisional dan lunak, tidak memerlukan perilaku dewasa, memungkinkan regulasi diri yang cukup, dan menghindari konfrontasi (Baumrind, 1991). Orang tua yang permisif lebih cenderung memberi jalan pada impuls, keinginan, dan tindakan anak. Orang tua ini memberikan sedikit tuntutan pada anak-anak mereka dan membiarkan mereka melakukan apa pun yang mereka inginkan (Keshavarz & Baharudin, 2009). Gaya pengasuhan ini tampaknya tidak berhasil dalam memungkinkan anak-anak untuk mengembangkan berbagai kemampuan mengarahkan diri sendiri yang mendasari keberhasilan akademik (Diaz, 2005).
Pola asuh authoritative (demokratis), yakni pola asuh yang paling tepat agar anak bisa berprestasi
Kembali kepada pola asuh authoritative (demokratis), yakni pola asuh yang paling tepat agar anak bisa berprestasi. Mengapa? Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memantau dan memengaruhi standar yang jelas untuk perilaku anak-anak mereka. Dengan demikian, anak-anak tidak merasa terlalu dikekang ataupun dituntut untuk melakukan banyak hal, tetapi juga diberikan leluasa untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang mereka inginkan. Di samping itu, orang akan tetap mengawasi dan tidak membiarkan sang anak. Pola asuh ini akan memberikan kesempatan bagi anak untuk lebih berekspresif dan berkreasi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki sang anak, utamanya adalah dalam hal meraih prestasi, baik prestasi akademik, maupun prestasi non-akademik.
Satu hal yang harus dipahami orang tua adalah tidak memaksakan kehendaknya kepada sang anak. Mengapa? Ketika seorang melakukan sesuatu dengan terpaksa, hanya ada dua kemungkinan, yakni dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah anak ‘mau’ dan ‘berhasil’ sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tuanya. Namun, jika hal ini berlawanan maka akan menjadi malapetaka besar bagi sang anak, sehingga akan mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri dan harga diri sang anak di depan orang tua. Jika hal demikian terjadi maka anak akan cenderung melawan dan berontak akibat keterpaksaan dari orang tua tersebut yang membuatnya tidak nyaman untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Layaknya sebuah kaca, jika kita tidak hati-hati dalam menjaganya maka ketika pecah, tidak akan mungkin untuk mengembalikannya seperti semua. Demikian pula seorang anak, jika kita salah dalam menerapkan pola asuh kepada anak, maka akan sangat sulit untuk membentuknya kembali dari nol, karena segala hal yang kita ajarkan telah terkonstruk dalam dirinya. Apa yang kita lakukan, secara tidak langsung menjadi role model bagi sang anak. Maka jangan pernah salahkan jika mendapati anak yang sering berlaku kasar. Selain lingkungannya, kita juga harus mengembalikan pada tumpuan utama, yakni orang tua.
Hakikatnya, Tuhan memberikan setiap detik napas kehidupan untuk kita jaga dengan baik. Apalagi jika napas kehidupan itu bagian dari diri kita yang paling dekat, yakni anak. Tidak semua kesempatan datang dua kali. Jika kita masih diberikan kesempatan untuk berlaku baik, menerapkan pola asuh yang tepat bagi anak, mencintainya dengan sepenuh hati, maka selayaknya kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai, kita malah sadar ketika telah menyesalinya. Menyesal dengan pola asuh yang salah, lalu menjadikan anak berontak dan tidak maksimal dengan bakat dan minatnya. Setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan yang tidak sama.
Membanding-bandingkannya hanya akan membuat jiwanya terluka. Jangankan membandingkan, sejatinya tidak ada anak yang menyukai orang tuanya lebih memuji anak orang lain daripada dirinya. Sedikit atau banyak, hal itu akan melukai hatinya. Apalagi dengan membanding-bandingkan sang anak dan menganggap sang anak tidak mempunyai bakat apapun. Padahal, jika kita bisa mendampingi, memahami, dan mengerti anak kita dengan baik, kita akan menyadari betapa istimewanya buah hati kita tanpa sempat memandang bahkan membanding-bandingkannya dengan milik orang lain.