Mengajari Anak Mengenali dan Tidak Menyebarkan Hoax
Bertebarnya berita-berita yang tidak akurat di berbagai platform online menjadi sebuah keresahan. Semakin mengkhawatirkan ketika target yang termakan berita bohong (hoax) adalah anak-anak. Mereka tidak hanya mengkonsumsinya namun berpotensi untuk menyebarluaskan. Tidak menunggu lama lagi, langkah preventif yang harus dilakukan para orang tua tentu adalah mengedukasi mereka sejak dini.
Hoax begitu mengerikan karena dapat memicu terjadinya pertikaian hingga perilaku kejahatan. Orang-orang yang tidak bersalah pun menjadi korban dari adanya hoax. Berdasarkan data yang diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, telah ada sekitar 800.000 situs penyebar berita palsu yang ada di Indonesia. Angka ini bukanlah jumlah yang sedikit. Tidak bisa lagi dibiarkan.
Hoax, Media Sosial, dan Anak-Anak
Saat ini informasi dapat diakses dengan sangat mudah melalui internet. Tidak perlu harus menunggu datangnya koran atau berlangganan majalah setiap bulan. Menyampaikannya lagi ke orang lain pun juga semakin praktis. Sekali tekan tombol, berita bisa diterima banyak orang. Ketika iformasi-informasi tersebut diterima oleh anak-anak Anda, apakah Anda yakin mereka bisa menelaah dan memfilternya dengan baik? Bagaimana jika isinya berita bohong semua?
Telah dilakukan sebuah penelitian oleh Pew Research Center tentang perilaku masyarakat terhadap informasi yang dikonsumsi setiap hari. Dari 1.002 responden, terdapat sebanyak 23 persen kalangan dewasa yang mengaku membaca kemudian menyebarkannya meskipun masih ragu akan kebenarannya. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwasanya orang dewasa yang seharusnya lebih bisa mengontrol arus informasi ternyata masih termakan oleh hoax. Jika hal ini terjadi pada anak-anak dan remaja, tentu Anda sudah dapat memperkirakan bagaimana efeknya.
Kemudian survey juga dilakukan oleh Common Sense yang merupakan media dengan tema pendidikan anak dan orang tua. Media tersebut menyebutkan bahwa dari 853 anak-anak di Amerika Serikat berumur 10-18 tahun, 31 persen masih belum bisa membedakan berita benar dan hoax. Bahkan mereka membagikannya kendati pun masi meragukan keakuratan dari berita.
Informasi yang kita nikmati saat ini tidak hanya dari portal khusus berita. Namun media sosial juga berperan sangat penting dalam menyebarluaskannya. Hal ini memicu maraknya berita hoax yang dikonsumsi anak-anak semakin tinggi. Pasalnya 25 persen anak-anak menyatakan bahwa mereka percaya pada informasi yang didapatkan dari media sosial. Bahkan platform berinteraksi di dunia maya ini menjadi referensi bagi para remaja untuk menemukan berbagai informasi yang mereka butuhkan.
Common Sense juga mendapat kesimpulan dari penelitiannya mengenai penggunaan media sosial bagi anak-anak untuk melakukan realitas sosial. Dari sekian banyak media sosial, Facebook adalah situs paling populer di kalangan mereka. 47 persen para remaja menyukainya, sedangkan anak-anak lebih menyukai Youtube dengan jumlah sebanyak 41 persen. Dengan jumlah tersebut, yang menjadi sebuah kekhawatiran adalah karena media sosial tersebut sangat potensial dimanfaatkan oleh para oknum menjadi media penyebaran hoax.
Oleh karena itu keaktifan anak di media sosial menjadi tantangan tersendiri bagi Anda sebagai orang tua untuk mengedukasi mereka sedini mungkin. Mengenali hoax dan tidak menyebarkannya adalah target utama yang harus dicapai. Melatih mereka untuk berpikir kritis tidak bisa berhasil secara instan. Diperlukan beberapa tahap agar apapun yang mereka serap dari media sosial adalah konten yang sehat.
Cara Agar Anak Mengenali dan Tidak Menyebarkan Hoax
Pedidikan anak selalu datang pertama kali dari keluarga sebelum diserahkan kepada guru di sekolah. Maka mengajari anak agar tidak menjadi korban hoax menjadi tugas penting para orang tua. Berikut ini langkah-langkah yang harus diterapkan untuk mengedukasi mereka.
1. Biasakan untuk Mengajukan Pertanyaan Kritis
Setiap hari Anda harus mengetahui informasi apa saja yang sudah mereka konsumsi. Kemudian biasakanlah untuk memberi mereka pertanyaan kritis mengenai berita yang sudah mereka terima. Pertanyaan kritis tersebut harus mampu membuat mereka terbiasa untuk berhati-hati dan tidak mudah percaya pada apa yang mereka lihat dan dengar. Semisal, siapa yang membuat informasi itu, untuk siapa informasi tersebut dibuat, lalu siapa pula yang diuntungkan dengan adanya berita tersebut. Anda juga harus membiasakan mereka untuk mempertimbangkan apa saja pesan yang ada dalam informasi yang mereka dapatkan. Apakah kontennya bermanfaat, menguntungkan, menghibur, atau malah menimbulkan pertikaian? Dengan begitu anak tidak akan mudah menelan mentah-mentah berita bohong yang menerpanya.
2. Melatih Kepekaan Emosi
Salah satu ciri-ciri hoax adalah konten yang membuat penikmatnya merasakan emosi yang berlebihan. Semakin ekstrem reaksi dari penerima, maka bisa dipastikan semakin banyak unsur kebohongan di dalamnya. Apabila Anda melihat anak sedang membaca berita kemudian ia merasa marah atau pun merasa sangat puas dari apa yang ia baca, segeralah periksa sumbernya. Tunjukkan kepada anak bahwa berita tersebut tidak lah valid dan dia sedang dipermainkan.
Cara ini bisa juga dengan memperlihatkan sesring mungkin contoh-contoh informasi yang sarat hoax. Suruh mereka baca, kemudian telaah reaksi dan emosinya secara bersama-sama. Setelah itu ajaklah dia berdiskusi mengenai informasi palsu tersebut. Jangan lupa juga untuk mengimbangi contohnya dengan berita-berita yang akurat agar anak mendapat perbandingan yang jelas.
3. Memeriksa Sumber Berita
Edukasi anak-anak Anda bagaimana cara mengetahui kebenaran dari sebuah berita dengan memeriksa sumbernya. Caranya adalah dengan mencari tahu situs pembuat berita tersebut dengan klik fitur “Tentang Kami” atau profil pemilik media. Kemudian secara teliti carilah berita yang berkaitan di sumber yang lain. Apabila di kanal berita resmi tidak menerbitkan informasi yang sama, maka keakuratannya patut dipertanyakan. Agar anak menjadi melek informasi yang sehat, sejak kecil selalu arahkan mereka pada platform penyedia informasi yang akurat dan terpercaya.
4. Cek Kebenaran Foto dengan Isi Berita
Mayoritas berita hoax menyertakan foto yang sensasional dengan judul yang bombastis. Tulisannya banyak menggunakan huruf kapital dan terdapat kesalahan ketik dengan gaya bahasa yang tidak sopan. Hal tersebut menjadi ciri ketidakaslian sebuah informasi. Anda dapat mengajari anak untuk cek foto yang diragukan menggunakan Google Images atau aplikasi lain yang serupa fungsinya. Dari fitur itu bisa ditemukan dari mana foto berasal. Apabila ada foto yang sama namun sudah tayang bertahun-tahun silam, maka berhenti menyebarkannya.
5. Ajari Anak Perbedaan Opini dan Fakta
Sikap skeptif pada berita-berita tidak berkualitas bisa ditanamkan pada diri anak dengan memperlihatkan opini dan fakta. Kedua hal ini sering dianggap sama bagi orang-orang yang tidak melek literasi. Opini yang merupakan pendapat pribadi dari si penulis belum jelas kebenarannya. Sedangkan fakta adalah informasi yang disajikan dengan data-data yang tidak hanya berasal dari satu sumber saja. Ulasannya berimbang dan tidak condong pada satu sisi saja. Hal ini penting diajarkan karena hoax itu bermula dari opini seseorang atau suatu kelompok tertentu yang disebarkan seolah-olah menjadi fakta.
Tidak mudah menghindar dari hoax sedang kita menjalani kehidupan yang serba mudah dalam mengakses informasi. Namun bukan berarti berita palsu tersebut tidak dapat dilawan. Kita dapat mengenalinya dan menanggapi secara cerdas dengan terus belajar berpikir kritis. Begitu pula dengan anak-anak kita yang lebih rentan termakan hoax. Semoga tips di atas bermanfaat!