Buku Cetak vs Digital, Mana yang Lebih Cocok untuk Siswa

edukasi 2 Nov 2021

Kebutuhan mencari informasi dan data di masa kini tidak lagi identik dengan pergi ke perpustakaan dan membuka banyak buku lagi.  Terlebih bagi Gen Z dan Gen Alpha yang sejak terlahir sudah dikelilingi oleh perkembangan dunia digital, yang salah satunya adalah sosial media. Bahkan, perpustakaan bisa jadi tempat yang tak familiar bagi mereka karena mereka lebih akrab dengan co-working space dengan kecepatan tinggi akses internetnya.

Berbicara tentang generasi, mau tak mau kita menjadi lebih terbuka dengan perkembangan dunia. Saya pun baru mengetahui bahwa Gen Z adalah generasi yang lahir pada akhir tahun 1990 an hingga awal 2010an. Secara usia saat ini mereka berusia 11 tahun hingga 23 tahun. Gen Z juga mendapat julukan Global Generation dan Generation Connected. Setelah Gen Z, anak-anak yang terlahir dalam dekade ini telah disebut sebagai Gen Alpha. Generasi inilah yang menjadi generasi pertama yang lahir dan tumbuh dalam kemajuan teknologi digital sepenuhnya. Tak bisa disangkal, dunia menjuluki mereka sebagai Digital Natives.

Lahir, tumbuh, dan berkembang di waktu yang berbeda pastilah membawa kebiasaan dan cara hidup yang berbeda. Menoleh dua puluh tahun ke belakang, kita dan orangtua kita masih akrab dengan koran dan majalah cetak. Mereka juga saling bertukar kabar melalui surat dan berkomunikasi melalui telepon. Saat ini semua media massa telah bermigrasi ke versi digital juga. Orang tua kita yang sudah menjadi kakek nenek saat ini juga menjadi akrab dengan e-news dan membaca melalui gadget mereka walaupun dalam keseharian mereka juga gagap teknologi.

Trend paperless juga mengubah dunia. Tak hanya dalam dunia pendidikan, berbagai sektor juga semakin meminimalisir penggunaan kertas. Kertas struk di ATM, nota makan di restoran, slip gaji, tagihan, formulir semua berganti wajah dalam bentuk digital dan online. Pemerhati lingkungan juga gencar mengkampanyekan gerakan Go Paperless. Dengan mengurangi penggunaan kertas kita juga menyelamatkan hutan. Menurut Petungsewu Wildlife Education Center, setiap 15 rim kertas ukuran A4 akan menebang sebuah pohon. Setiap 7.000 eksemplar koran akan menghabiskan sepuluh bahkan lebih pohon di hutan. Bayangkan, dalam sehari terbit koran berapa pohon yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan itu.

Saya juga teringat, semasa kuliah para dosen terbang yang sebagian berasal dari Amerika sudah mengajak mahasiswanya menggunakan kertas bekas saja apabila mengumpul tugas, menulis revisi atau membuat laporan diskusi. Selebihnya, mereka lebih suka file yang dikirim melalui email saja. Mereka juga sering menceritakan budaya mereka yang sudah semakin beralih ke digital salah satunya dengan semangat paperless.

Dalam dunia pendidikan saat ini, buku cetak masih banyak diperlukan di berbagai tingkat pendidikan. Terkadang referensi lama belum ada versi digitalnya. Walaupun kita sudah mengenal e-book, buku cetak tetap menjadi pilihan karena lebih terasa fisiknya dan ada perasaan khusus yang sifatnya personal saat memegang buku. Saya merasakan getaran bahagia saat membaca buku, mengelus cover-nya dan membuka lembarnya. Selain itu, buku cetak lebih memberi kenyamanan saat membaca terlebih untuk waktu yang cukup lama.

Beberapa siswa tingkat sekolah menengah yang saya temui memberikan komentar yang senada. Mereka tetap memilih buku cetak dan digital berimbang porsinya. Usia mereka antara 12 hingga 15 tahun. Jika digolongkan menurut generasinya mereka masuk dalam Gen Z yang sebenarnya sudah terbiasa menggunakan teknologi digital. Membaca materi ajar melalui digital sudah pasti menggunakan perangkat tambahan seperti handphone, tablet ataupun laptop dengan memasang aplikasi atau program.

Perangkat ini pastinya membutuhkan baterai dan daya listrik yang tidak bisa digunakan apabila listrik padam dan baterai minim. Selain itu mengunduh banyak file juga mempengaruhi kapasitas memori perangkat. Tantangan baru adalah ketahanan mata untuk screen time dalam waktu yang lama. Paparan radiasi dari gadget sudah banyak sekali dibagi informasinya dan sangat mempengaruhi kesehatan indera penglihatan.

Kelebihan buku digital adalah awet, ringkas, praktis dan mudah dibawa kemana-mana. Bayangkan, jika seorang siswa akan membawa 3 buah buku setebal 500 halaman pasti sangat berat. Tetapi dengan adanya teknologi, buku tersebut menjadi lebih ringan dalam genggaman.  Saat kita membutuhkan informasi tambahan, buku digital juga siap menjadi sumber data. Ketika kita entri kata kunci yang kita butuhkan, tautan akan muncul dan bisa segera kita bagi kepada orang lain. Betapa mudah dan banyak pekerjaan terselesaikan dengan adanya teknologi. Saat ini  banyak e-book bisa didownload secara gratis atau berbayar.

7 Hal yang Bikin PJJ Stress Anak dan Cara Mengatasinya
Kegiatan belajar yang terus dilaksanakan daring membuat anak bosan, sepi hingga stress. Sebagai orangtua, Anda berperan untuk menemani anak dan membantu mereka agar tidak stress ketika PJJ.

Buku digital juga membantu guru maupun dosen dalam proses pembelajaran. Adanya infografis, konten multimedia dan materi yang dibuat semenarik mungkin membuat siswa lebih betah mengakses ilmu baru. Mereka juga merasakan belajar dengan cara yang menyenangkan karena menggunakan teknologi terkini.

Di antara berbagai kelebihan buku digital, bagaimanapun buku digital juga mempunyai kekurangan. Selain memengaruhi kesehatan mata apabila membaca terlalu lama, tantangan maraknya pembajakan menjadi sebuah risiko bagi penulis dan penerbit. File-file e-book acap kali dipublikasikan secara ilegal dan maraknya copy paste dalam sebuah artikel.

20 Kanal Youtube yang Aman dan Edukatif Bagi Anak
Ada banyak konten edukatif di Youtube yang bisa ditonton anak untuk belajar dan mengisi waktu luang mereka.

Kesimpulan yang bisa didapatkan, bagi siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Sekolah Lanjutan buku cetak tetap dibutuhkan tetapi buku digital bisa menjadi referensi tambahan saja. Kesehatan mata dan penggunaan gadget sesuai porsi usia juga merupakan pertimbangan utama yang harus diperhatikan. Alih-alih menjadi generasi yang tumbuh bersama teknologi tetapi interaksi antar individu menjadi sangat minim. Tak jarang komunikasi tatap muka ketika bertemu di antara mereka menjadi abai karena masing-masing dengan keseruan smartphone di genggaman.








Enni Kurniasih

"Penulis, blogger, pemerhati pendidikan dan parenting"

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.