Pendidikan dalam Esensi Filosofis Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara atau RM Soewardi Soejaningrat dikenal lewat kontribusinya dalam pendidikan di Indonesia dengan cara mendirikan Taman Siswa. Pendidikan dalam esensi filosofis Ki Hajar Dewantara merupakan suatu alat yang menjadi mobilisasi politik untuk merebut kembali hak rakyat yang telah diregut oleh kolinial. Oleh karena itu politik dalam pandangan beliau tak hanya sebatas di bidang politik saja melainkan ikut aktif dalam menggaungkan kesetaraan di bidang sosial dan budaya melalui pendidikan.
Lahir tanggal 2 Mei 1889 silam, Ki Hajar Dewantara sempat mengenyam pendidikan di ELS. Pria kelahiran Yogyakarta tersebut juga berhasil melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dokter Jawa yang bernama STOVIA, walaupun tidak sampai selesai karena mengalami masalah di kesehatannya.
Meskipun terlahir sebagai keturunan bangsawan Jawa, tidak membuat kehidupan Ki Hajar Dewantara memiliki gap yang lebar dengan rakyat kecil. Meskipun jurang tersebut ada, namun beliau selalu berusaha untuk menutup celah tersebut. Jiwa Ki Hajar Dewantara justru semakin tercurah dalam memikirkan cara agar kehidupan demokratis yang lebih baik bisa juga dinikmati oleh seluruh rakyat.
Berkarir sebagai jurnalis, tak menjadikan jiwa pendidik Ki Hajar Dewantara mati. Ia bahkan merealisasikan esensi filosofisnya tentang pendidikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa tahun 1992. Lewat Taman Siswa, keinginan Ki Hajar Dewantara untuk mendidik masyarakat bumiputra bisa direalisasikan.
Sebelum mendirikan Perguruan Taman Siswa tersebut, Ki Hajar Dewantara selalu memiliki pemikiran bagaimana membangun tandingan politik untuk meruntuhkan diskriminasi yang dipertahankan oleh kolonial. Alasan tersebut mendorong Ki Ki Hajar Dewantara untuk berpikir jauh ke depan tentang pendidikan yang harus diperoleh bumiputra agar adanya kesetaraan sosial politik dalam masyarakat kolonial yang melibatkan orang-orang bumiputra di dalamnya.
Pendidikan dalam Esensi Filosofi Ki Hajar Dewantara
Pendidikan dalam esensi filosofi Ki Hajar Dewantara menjadi salah satu wadah untuk menghasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan menyediakan akses pendidikan merata dan bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia nantinya. Ki Hajar Dewantara yang saat itu merasa khawatir terhadap pendidikan kolonial, selalu berdiskusi untuk mendirikan sekolah bagi bumiputra. Menurutnya sistem pendidikan kolonial saat itu yang menerapkan metode pengajaran perintah dan sanksi (hukuman) harus diganti dengan pendidikan pamong.
Menurut esensi filosofis Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan dan kebangsaan. Tiga aspek ini kemudian menjadi dasar yang dimiliki Ki Hajar Dewantara dalam mendidik bangsa serta mengarahkan pada politik pembebasan dan kemerdekaan.
Esensi filosifis Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan ideal, direalisasikan dalam bentuk pendidikan nasional yang bisa diakses secara merata dan menyeluruh oleh anak bumiputra atau bangsa Indonesa yaitu dengan mendirikan National Onderwijs Taman Siswa. Dengan bermodalkan pengalaman dalam memperoleh pendidikan yang humanis, Ki Hajar Dewantara menciptakan kolaborasi model sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India). Menurut Ki Hajar Dewantara, dua sistem pendidikan milik tokoh kenamaan tersebut sangat sesuai diadaptasi dalam sistem bumiputra. Dari mengadaptasi kedua sistem inilah, Ki Hajar Dewantara memperoleh istilah Patrap Guru yaitu tingkah guru yang menjadi dasar bagi peserta didik untuk bertingkah laku.
Ki Hajar Dewantara dalam esensi filosofisnya memandang peran guru sebagai pedoman anak bangsa untuk bersikap. Atas dasar itu pula muncul gagasan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal dalam dunia pendidikan dan dijadikan sebagai moto pendidikan Indonesia yaitu Tut Wuri Handayani.
Patrap Guru selanjutnya diterapkan dalam semua jenjang pendidikan di Taman Siswa mulai dari Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), dan Taman Guru (Sarjana Wiyata). Pada masa tersebut, lebih tepatnya tahun 1922-1930, Taman Siswa sukskes mengembangkan ekspansi ke seluruh penjutu tanah air mulai dari Aceh hingga Indonesia Timur dengan total 30 cabang, sementara pusat kepengurusan tetap berada di Yogyakarta.
Taman Siswa
Taman Siswa masih menjadi motor dan jiwa penggerak sekolah swasta di Indonesia. Untuk meneruskan cita-cita Ki Hajar Dewantara, Taman Siswa selanjutnya dikelola oleh Ki Mangun Sarkara. Meskipun terdapat sedikit perbedaan orientasi masyarakat pada Taman Siswa waktu jaman kolonial, namun semangat kerakyatan masih terus memancar dalam Taman Siswa.
Taman Siswa kini sudah mulai mengeluarkan dan untuk membiayai operasionalnya. Kendati demikian, konsep penyebaran pendidikan merata yang diusung Ki Hajar Dewantara kembali diperkuat dengan memperluas Taman Siswa ke jenjang lebih tinggi yaitu Perguruaan Taman Siswa. Berdirinya Perguruan Taman Siswa ini membuat tujuh pasal dalam Taman Siswa semakin diperkuat lewat kongres besar yang diadakan sekaligus untuk memilih pemimpin yang paling cocok untuk memegang amanah Ki Hajar Dewantara.
Berikut isi pasal yang tertuang dalam Perguruan Taman Siswa:
1. Pasal 1 dan 2, tentang dasar kemerdekaan setiap orang untuk mengatur dirinya sendiri
2. Pasal 3, mencakup kepentingan sosial
3. Pasal 4, meliputi dasar kerakyatan yang diperluas bukan hanya untuk sekelompok masyarakat
4. Pasal 5, azas kemandirian dalam mengejar kemandirian hidup
5. Pasal 6, syarat mengejar kemerdekaan belajar dengan sistem mandiri
6. Pasal 7, mengharuskan sifat ikhlas bagi guru saat mendekati peserta didik.
Pasal tersebut menjadi manifes berharga dalam sejarah dunia pendidikan. Azas yang terkumpul dan dituangkan di dalamnya merupakan cita-cita Ki Hajar Dewantara agar bumiputra bisa merebut kembali hak yang dirampas kolonial.
Esensi pendidikan dalam filosofis Ki Hajar Dewantara sebagai kombinasi gerakan evolusioner dan revolusioner dalam memperjuangkan hak-hak yang harus direbut kembali dari pemerintah kolonial. Ki Hajar Dewantara dalam esensi filosofisnya memandang pendidikan adalah sesuatu yang kuat dan konsisten serta harus diperjuangkan demi kepentingan populis dan demokratis dengan prinsip sama rata sama rasa.
Dorongan tersebut kemudian membuat semangat nasionalisme semakin meningkat melalui pendidikan yang digagas dalam Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara menginginkan adanya institusi bumiputra yang kuat dan mampu bersaing dalam menekan pemerintahan kolonial. Lembaga tandingan ini pula yang akhirnya menjadi salah satu yang berperan dalam menghasilkan kemerdekaan Indonesia hingga menjadi negeri merdeka dan berdaulat.
Tak hanya hak-hak bumiputra yang berhasil direbut lewat pendidikan, namun azas yang digunakan oleh kolonial juga diganti dengan azas pendidikan Taman Siswa yang telah disesuaikan dengan konsep pendidikan yang humanis, kerakyatan dan tidak diskirminatif terhadap perbedaan yang ada. Azas pendidikan Taman Siswa yang diterapkan dalam konsep pendidikan dikenal dengan istilah panggulawentah, momong, among atau ngemong yang bermuara pada tata tentrem.
Sebagai bapak pendidikan dengan melihat esensi filosofisnya dalam memprioritaskan dan memperjuangkan pendidikan, wajar rasanya jika Ki Hajar Dewantara memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional di bidang pendidikan pada tahun 1959. Lewat hasil pemikirannya dalam dunia pendidikan pula, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia usai Proklamasi Kemerdekaan digaungkan.
Filosofis Ki Hajar Dewantara dalam memandang pendidikan yang jauh ke depan berhasil membuat lembaga tandingan untuk menekan pemerintahan kolonial agar mengembalikan hak-hak bumiputra yang selama ini telah mereka rebut.