Ini 5 Alasan Mengapa Ranking Kelas Bukan Ukuran Mutlak Kecerdasan Seorang Murid
Nilai rapot dan ranking kelas adalah dua hal yang ditakutkan siswa ketika masa akhir semester tiba. Takut mendapat nilai rapot yang buruk, takut peringkat di kelas tergeser, atau takut jika tidak mampu memenuhi ekspektasi orang tua. Ketakutan yang muncul terkadang berlebihan hingga seakan – akan hidup dan mati siswa tersebut bergantung dengan ranking kelas. Mengapa demikian?
Bak udang di balik batu, segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki alasan tertentu. Begitu pula dengan pola pikir ranking kelas sebagai patokan kecerdasan seorang murid. Sebanyak apapun alasan tersebut, ranking kelas seharusnya bukanlah hal mutlak yang dapat menjadi tolak ukur kecerdasan seorang anak.
Berikut 5 alasan mengapa ranking kelas bukan ukuran mutlak kecerdasan seorang murid berdasarkan pengalaman penulis.
1) Peringkat Tinggi di Kelas Sudah Pasti Orang Pintar; sebuah stigma yang tidak sepenuhnya benar tetapi mengakar kuat di masyarakat
Ada satu stigma yang menurut penulis menjadi alasan mengapa ranking kelas menjadi sebuah momok menakutkan bagi siswa. Stigma tersebut yaitu “peringkat tinggi di kelas sudah pasti yang terpintar”.
Entah siapa yang memulainya, tetapi yang penulis tahu yaitu stigma ini sudah diwarisi turun temurun bak harta karun yang tak pernah habisnya. Kenyataannya, ranking bagaikan dua mata pisau dimana sisi negatif dan positifnya berjalan beriringan. Ranking bisa memotivasi siswa untuk menghadirkan sisi terbaik dirinya, tetapi ranking juga dapat menyiksa batin siswa di sekolah.
Hadirnya stigma “si peringkat satu adalah yang paling pintar” membuat siswa berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Alasannya sederhana, yakni bercita-cita ingin diakui sebagai ‘yang paling pintar’ atau dengan alasan demi membanggakan orang tua lalu mengejar kedudukan tersebut secara mati-matian.
Stigma ini kemudian memunculkan sebuah persaingan antar siswa untuk menjadi yang terbaik. Kalau persaingannya secara sehat, stigma ini akan membawa pengaruh positif agar siswa selalu bekerja keras guna mendapat nilai yang maksimal. Tetapi bayangkan jika perlombaan yang tak kasat mata ini menjadi arena di mana petarungnya akan menggunakan segala cara untuk menang; dalam kasus ini yaitu mencontek atau berbuat curang lainnya.
Yang tak kalah mengerikan, masih banyak orang tua siswa yang memaksakan ego mereka agar anaknya menjadi si peringkat satu di kelas. Hal ini tentu memberikan tekanan tersendiri kepada siswa karena harus memenuhi ekspektasi orang – orang yang disayanginya. Bukannya menjadi self-reward, mendapat ranking justru menjadi PR yang paling membebani siswa.
Dari beberapa contoh kasus di atas, siswa dan orang tua siswa terkadang lupa bahwa fungsi sekolah yaitu sebagai tempat siswa menimba ilmu dan menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan diri.
Jadi, mendapatkan nilai kurang memuaskan merupakan sebuah hal yang wajar selama proses pembelajaran. Baik orang tua siswa maupun siswa itu sendiri harus memahami secara jelas.
2) Transkrip Nilai Bisa Menunjukkan Besaran Ketertarikan Siswa
Ranking biasanya ditentukan berdasarkan transkrip nilai masing – masing siswa dalam satu lingkup tertentu. Misalnya, ranking kelas berarti susunan perolehan transkrip nilai tertinggi yang ada dalam suatu kelas. Itu artinya, warisan pe – ‘ranking’ – an ini adalah muara dari penerjemahan transkrip nilai pada setiap mata pelajaran yang ada di sekolah tersebut.
Bisa dikatakan, siswa yang mendapat peringkat satu di kelas berarti ia menguasai mata pelajaran yang memang ada di kurikulum pendidikan formal; seperti matematika, sains, ilmu sosial, dan lainnya. Lalu, bagaimana dengan siswa yang tidak mendapat ranking?
Mereka yang tidak mendapat ranking bukanlah bodoh, tetapi hanya tidak menguasai mata pelajaran yang ada di kurikulum pendidikan formal. Bahkan terkadang, alasan siswa tidak menguasai suatu topik pelajaran adalah bukan karena tidak mahir, tetapi mereka hanya tidak tertarik.
Mungkin saja, mata pelajaran yang ada di sekolah membuat siswa bosan dan mereka tidak tertarik untuk mendalami lebih lanjut. Alhasil, mereka hanya menyerap ilmu tersebut seadanya saja tanpa berusaha lebih keras. Sehingga dapat disimpulkan bahwa transkrip nilai hanya menunjukkan besaran ketertarikan siswa pada mata pelajaran di sekolah.
3) Kecerdasan dibagi menjadi 9 bentuk
Menurut Howard Gardner dalam karyanya yang berjudul “Intelligence Reframed: Multiple Intelligences”, kecerdasan manusia dibagi menjadi 9 bentuk. Gardner memandang bahwa kecerdasan tidak hanya berdasarkan skor standar penilaian kecerdasan, tetapi juga kemampuan manusia untuk memecahkan sebuah permasalahan dalam kehidupan.
Sembilan bentuk kecerdasan tersebut antara lain:
Pertama, kecerdasan logika-matematika, Kemampuan yang mampu dalam menalar dan menghitung, menyukai konsep teka-teki ,dan bermain dengan logika.
Kedua, kecerdasan linguistik. Kemampuan berbahasa dan mengolah kata-kata secara efektif.
Ketiga, kecerdasan interpersonal. Kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain dan suka pergaulan yang luas.
Keempat, kecerdasan intrapersonal. Kemampuan dalam memahami diri sendiri dengan bijaksana, intuisi, serta dapat memotivasi diri sendiri.
Kelima, kecerdasan musik. Kemampuan dalam membedakan nada, ritme maupun timbre.
Keenam, kecerdasan kinestetik-jasmani. Kemampuan menggunakan tubuh secara efektif dan suka bergerak.
Ketujuh, kecerdasan visual-spasial. Kemampuan dalam menggambar. Pembelajaran mereka akan sangat efektif jika menggunakan gambar maupun alat peraga yang dapat dilihat secara langsung
Kedelapan, kecerdasan naturalis. Kemampuan untuk peka terhadap alam, menyayangi hewan dan suka akan tumbuh-tumbuhan.
Kesembilan, kecerdasan eksistensial. Kemampuan untuk peka terhadap asal usul, arti hidup dan mati.
Kecerdasan di atas merupakan kecerdasan majemuk. Setiap anak akan memiliki beberapa kecerdasan yang berbeda dengan teman – temannya. Misalnya, anak yang memiliki kecerdasan linguistik, juga memiliki kecerdasan spasial dan interpersonal, tetapi memiliki kelemahan dalam bidang logika-matematika.
Oleh karena itu, kecerdasan anak tidak hanya dapat diukur dari satu tes tertentu saja. Kesempatan menjadi ‘pintar’ kadang dikekang dengan adanya standar penilaian yang dibuat oleh sistem. Apabila seorang anak tidak mencapai standar tersebut, maka orang tua akan kebingungan untuk memberikan les tambahan maupun menuntut anaknya untuk lebih giat belajar.
Beberapa standar nilai akan menguntungkan bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan tersebut yang sesuai dengan standar tersebut. Anak yang memiliki kecerdasan matematika akan sangat senang mengerjakan ujian matematika. Namun, anak yang kurang dalam kecerdasan matematika tentu akan mendapat kesulitan.
Orang tua perlu mengetahui bahwa kecerdasan majemuk bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mendidik dan memahami bakat anak – anak. Kecerdasan yang tidak hanya unggul dalam satu bidang saja, tetapi pada bidang-bidang lain juga. Dengan begitu, kita tidak akan mematikan potensi-potensi anak.
4) Tidak selamanya materi pelajaran hanya bisa didapatkan di kelas
Ruang kelas itu seluas samudra. Kelas itu bukan hanya bangunan balok atau kubus berukuran 7 x 7 atau 8 x 8 meter persegi yang memiliki pintu masuk dan jendela-jendela, melainkan tempat untuk beraktivitas dan belajar. Manusia memiliki hakikat untuk belajar seumur hidupnya, sehingga ruang kelas untuk belajar pun sesungguhnya tidak memiliki ukuran tertentu.
Setiap lingkungan adalah ruang belajar. Setiap tempat bisa menjadi kelas. Tak terbatas hanya pada dinding – dinding sekolah saja. Bisa jadi, suatu pelajaran yang disukai anak ternyata tidak tersedia di kelas formal pada umumnya.
5) Banyak contoh orang yang sukses sesuai bidangnya dan tidak berdasarkan nilai di sekolah
Masih banyak orang yang berpikir bahwa nilai akan pasti memberikan kesuksesan di masa depan. Padahal sudah banyak penelitian maupun contoh di sekitar kita bahwa banyak orang yang mampu sukses dalam bidangnya, bukan berdasarkan nilai sekolah.
Sebagai contoh, Anne Avantie adalah seorang desainer terkenal di Indonesia. Ia telah sukses menciptakan busana – busana indah yang telah dikenal luas baik lokal maupun internasional. Semenjak SD ia sudah menunjukkan ketertarikan dalam bidang fashion dengan membuat gambar-gambar baju, hingga membuat pita-pita lucu yang kemudian dijual kepada teman-temannya. Ia dapat menapaki kesuksesan walau hanya lulusan SMP.
Kesuksesan Anne Avantie menggambarkan bahwa seseorang dapat bertahan hidup dengan bakat dan hobi yang dimiliki, sehingga tidak selamanya bergantung pada ranking di kelas.
Walau demikian, bukan berarti pendidikan tidaklah penting. Namun, tanamkan kepercayaan diri bahwa anak Anda hebat dalam bidang mereka. Janganlah sesekali memarahi anak apalagi sampai membandingkan anak karena kemampuan mereka. Sebab, kita hanya akan menyakiti hati anak dan membuat pribadinya tidak percaya diri. Orang tua hanya perlu menguatkan, menghargai, dan menyemangati segala proses yang telah dilakukan anak.
Demikian artikel mengenai 5 alasan mengapa ranking kelas bukan ukuran mutlak kecerdasan seorang murid. Ikuti blog.kejarcita.id untuk mendapatkan kumpulan artikel seputar pendidikan jarak jauh, usaha sosial dan inovasi teknologi.