Benarkah PJJ membentuk Anak yang Individualis?

parenting 23 Sep 2020

Di tengah kondisi wabah COVID-19 yang masih terus menyebar dan memunculkan banyak pasien, pendidikan harus tetap dijalankan. Kegiatan belajar mengajar yang kini dialihkan pada metode daring harus diterapkan hingga waktu yang tidak ditentukan. Tahun ajaran baru pun dimulai dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) meskipun banyak keluhan dari orang tua. Para tenaga pendidik pun masih banyak yang merasa kewalahan dan khawatir terhadap perkembangan siswanya. Salah satu yang sangat dikhawatirkan dari program PJJ ini adalah terpicunya karakter individualis pada anak.

Jika berbicara mengenai individualisme, hal yang muncul di pikiran adalah buruknya kualitas interaksi sosial pada diri seseorang. Ia merasa tidak perlu untuk berhubungan dengan banyak orang dan selalu mengedepankan kepentingannya sendiri. Sikap ini tentu tidak bisa dibiarkan apabila terjadi pada anak Anda. Selain karena karakter ini akan menghambat pertumbuhannya, ia juga akan sulit survive di lingkungan Indonesia yang notabene menjunjung gotong royong.

Anak bisa menjadi individualis bisa jadi bukan hanya karena penerapan sekolah dari rumah. Kita harus mengetahui faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan tumbuhnya karakter tersebut.  Anda sebagai orang tua harus mengenali tanda-tanda tumbuhnya individualisme dari anak dan cegah sedini mungkin. Berikut ini adalah penyebab anak bisa menjadi individual:

Kurangnya Dorongan untuk Bersosialiasi

Apabila sedari kecil lingkungan anak tidak mendukungnya untuk tumbuh menjadi orang yang cerdas bersosial, maka kemungkinan besar perilaku individual itu mengakar dalam dirinya. Tidak hanya dari ligkungan tempat tinggalnya, namun sekolah yang menjadi tempat belajarnya, atau teman yang berada di sekelilingnya, dan paling utama yakni pengaruh orang tua. Saat anak selalu dipenuhi kebutuhannya tanpa mengeluarkan banyak usaha, maka ia akan tumbuh dengan mindset bisa hidup sendiri tanpa bersosialisasi dengan orang lain.

Dorongan yang kuat untuk bersosialiasi sangat dibutuhkan oleh setiap anak di masa tumbuh kembangnya. Jika di saat PJJ mengharuskan mereka untuk menahan diri dari bertemu banyak orang, orang tua tetap harus memberikan fasilitas yang tepat. Perhatian keluarga pada anak berupa budaya yang diterapkan untuk aktif berinteraksi adalah investasi yang sangat penting. Meskipun harus menjalankan sekolah dari rumah selama berbulan-bulan pun tidak akan meberikan pengaruh yang signifikan dalam kualitas bersosialnya.

Penggunaan Gadget yang Berlebihan

Faktor pemicu tumbuhnya individualisme pada anak juga dipengaruhi oleh penggunaan gawai yang melewati batas. Hal ini yang marak sekali diperbincangkan. Teknologi yang memberikan kemudahan, justru juga menjadi penyebab buruknya kehidupan sosial penggunanya. Survey yang pernah dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) di tahun 2019 menunjukkan bahwa pengguna internet banyak dilakukan oleh anak muda usia 15-19 tahun. Bahkan anak-anak di bawah umur 10 tahun yang mengakses internet dengan gawainya mencapai 25,2 persen dari 171,17 juta responden. Jumlah tersebut tentu mengindikasikan bahwa kehidupan anak-anak sekarang sangat bergantung pada teknologi.

Ditambah lagi dengan kondisi saat ini yang semakin memberikan peluang kepada anak-anak untuk mengakses gadget lebih sering dari biasanya. Sekolah daring yang dilakukan di rumah mengharuskan para orang tua untuk aktif mengawasi dan mendampingi anak-anaknya dalam penggunaan gadget. Caranya adalah Anda harus mengimbangi kegiatan anak dengan aktifitas lain yang produktif tanpa melibatkan teknologi. Jika Anda berhasil mengalihkan perhatian mereka dari gadget, maka kekhawatiran tumbuhnya karakter yang individual akan sangat minim terjadi.

Pola Asuh Orang Tua

Penyebab berikutnya adalah gaya pengasuhan orang tua terhadap anak. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara yang individualis, maka akan tumbuh juga dengan karakter tersebut. Banyak orang tua yang tidak menyadari perilakunya sendiri dalam mendidik putra-putrinya dengan pola asuh yang tidak tepat. Semisal kasus sederhananya yaitu ketika menanggapi pertanyaan atau cerita anak, orang tua masih sibuk dengan gadget. Lalu ketika ada undangan dari ketua RT untuk kerja bakti bersama warga setempat, mereka sengaja tidak hadir. Bisa juga berawal dari kebiasaan orang tua yang menyokong anaknya hanya pada pencapaian prestasi akademik. Namun di saat anak punya kesempatan berkolaborasi dengan temannya untuk kegiatan ekstrakulikuler, mereka malah acuh tak acuh bahkan melarang. Pola asuh semacam ini sangat rentan membuat anak meniru perilakunya dan secara alamiah menjadi sulit bersosialisasi.

Minimnya Kepercayaan Anak Terhadap Lingkungannya

Nah, faktor ini juga sangat andil dalam kualitas kehidupan bersosial anak. Peranan orang tua dalam mendidiknya berkaitan erat dengan pandangannya terhadap lingkungan di sekitar. Bukan hanya ketika anak jarang keluar dari rumah, perilaku jahat dari luar dirinya menjadi pemicu untuk bersikap individual. Contohnya apabila anak sering mendapat perundungan dari temannya, tapi keluarga tidak segera memberikan pengobatan secara mental. Peristiwa ini berakibat pada hilangnya keberanian anak untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain. Rasa trauma akan menghantuinya hingga dewasa. Oleh karena itu orang tua perlu memperhatikan terus pertumbuhan anak meskipun ia terlihat baik-baik saja. Sesekali tes kemampuan bersosialnya dengan kegiatan yang melibatkan banyak orang.

6 Tips Mencegah Anak Mengalami Masalah Komunikasi Setelah PJJ
Intensitas komunikasi secara langsung yang dilakukan dengan orang lain tentu semakin sedikit ketika anak sekolah daring. Oleh karena itu dibutuhkan pencegahan agar anak tidak menjadi pasif dalam hal berbicara.

Metode Belajar yang Tidak Berkelompok

Tumbuhnya sikap individualisme anak juga disebabkan pola belajar yang diterapkan oleh gurunya di sekolah. Kegiatan pembelajaran yang tidak melibatkan anak dalam aktifitas berkolaborasi, berdiskusi, dan kegiatan yang serupa adalah pemicunya. Anak akan terbiasa mengerjakan tugas sendirian, tidak mau berkelompok karena sulit bekerja sama. Maka dengan demikian dalam penerapan PJJ harus memperhatikan hal ini. Jangan sampai pembelajaran jarak jauh yang memisahkan siswa dengan teman-temannya, justru semakin merenggangkan interaksi mereka. Buatlah metode belajar dan pengerjaan tugas yang melibatkan emosi bersosial anak. Menerapkannya memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin untuk dilaksanakan. Optimisme guru dan orang tua sangat menunjang dalam memperlancar pendidikan anak di kondisi yang terbatas ini.

Apa Kata Psikolog Tentang Perkembangan Mental Anak Selama PJJ?
Para psikolog banyak angkat suara mengenai kondisi mental anak di masa pandemi. Perubahan dari sebelum terjadinya wabah COVID-19 pada penyesuaian dengan virus ini butuh antisipasi dan kesiapan, baik fisik maupun psikis. Terlebih bagi anak-anak.

Jadi berdasarkan faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab anak menjadi individual tidak serta merta dikarenakan program PJJ. Sebagai orang tua, Anda tentu harus memberikan perhatian penuh pada anak bahkan pada hal yang sepele. Penyebab-penyebab di atas bisa dijadikan pedoman bagi Anda untuk lebih berhati-hati lagi. Di masa pandemi ini, tetaplah optimis dalam menjalankan PJJ dengan dukungan yang tepat.

Miela Baisuni

Freelance content writer & social media specialist, traveller.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.