5 Kendala Guru dalam Menghadapi Program Merdeka Belajar
Dunia terus berkembang dan berjalan dalam ilmu, teknologi, informasi yang bergerak secara pesat. Peran pendidikan untuk mendatangkan perubahan dan perkembangan ke hal-hal yang lebih baik menjadi poros utama segala hal di dunia ini terjadi. Setiap masa ada orangnya, begitupun setiap masa beda kebutuhan pendidikannya. Pendidikan selalu identik dengan menjadikan manusia untuk mandiri dan melakukan perbaikan/perubahan. Maka tidak heran, guru sebagai peran sentral pendidikan selalu dituntut untuk menyesuaikan kebutuhan zaman dan beradaptasi dengan baik dalam kegiatan pembelajaran.
Sebagaimana di Indonesia, setiap periode tertentu dunia pendidikan selalu dituntut beradaptasi akan perubahan sistem pendidikan. Secara umum perubahan kurikulum juga disesuaikan dengan adanya perubahan kondisi politik, sosial, budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang berkembang di masyarakat. Kurikulum terus berganti disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi saat ini maupun di masa depan. Berbagai kebijakan yang terstruktur dan rumit harus dijalankan, agar dapat diterapkan di sekolah-sekolah, sehingga murid atau generasi muda bisa bersiap hidup mandiri di masa mendatang.
Masih jelas di ingatan kurikulum terakhir yaitu K-13 diterapkan menggantikan KTSP (kurikulum 2006). Ciri umum dari K-13 berfokus pada capaian pembelajaran. Kegiatan pembelajaran ditujukan pada sarana pengembangan sikap dan budi pekerti peserta didik. Beberapa materi pembelajaran disusun sedemikian rupa untuk menciptakan suasana belajar yang komprehensif dan terintegrasi satu sama lain untuk membentuk karakter yang sesuai ideologi Pancasila. Perjalanan dan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia tentunya belum tuntas, dengan adanya berbagai upaya perbaikan dan faktor, kurikulum 2013 kemudian digantikan dengan program Merdeka Belajar.
Merdeka Belajar
Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bukan hanya ditetapkan sebagai upaya solutif untuk menjawab tantangan di masa mendatang, namun juga memberikan warna dan langkah baru dalam kegiatan belajar mengajar yang mendorong siswa lebih merdeka dalam berpikir, merdeka dalam berkarya maupun dalam bertanya.
Selain itu, adanya kebijakan program Merdeka Belajar juga cukup fleksibel dan sesuai di saat kondisi pandemi Covid-19 terjadi, sehingga pembelajaran pun dapat berlangsung dengan tetap kondusif.
Akibat dari adanya program Merdeka Belajar, siswa didorong untuk lebih merdeka dalam belajar ialah mengubah perspektif pembelajaran. Di mana mulanya kegiatan pembelajaran di Indonesia lebih berpusat pada guru, kemudian lebih berpusat kepada siswa. Selama ini kegiatan pembelajaran di Indonesia memang lebih didominasi oleh pengajar.
Hal ini dibuktikan dengan adanya riset yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2014. Dengan melakukan survei pada 200 kelas matematika tingkat SMP di Indonesia, hasil survei menunjukkan hanya sekitar 10% kegiatan pembelajaran yang dialokasikan oleh guru untuk kegiatan diskusi di kelas, sedangkan sekitar 60% lainnya digunakan untuk kegiatan eksposisi atau menjelaskan materi yang mengambil banyak waktu pembelajaran di kelas.
Soal interaksi di dalam kelas, berdasarkan riset, guru mengambil alih sekitar 75% dari waktu pelajaran. Hal inilah yang kemudian juga melatarbelakangi perubahan K-13 menjadi Merdeka Belajar. Berdasarkan fakta tersebut bertepatan dengan Hari Guru Nasional pada 25 November 2019 lalu, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengajak para guru menjadi agen perubahan untuk kemerdekaan belajar di Indonesia, dengan cara mengajak siswa berdiskusi. Peserta didik juga tidak sebaiknya diperlakukan sebagai pendengar yang pasif.
5 Kendala Guru Hadapi Program Merdeka Belajar
Program Merdeka Belajar menjadi suatu kebijakan yang dianggap transformatif di dunia pendidikan, tentu ada berbagai perubahan akan dirasakan oleh guru. Perubahan yang dirasakan guru ini menghadapkannya pada berbagai kendala yang perlu diatasi dengan baik. Apa saja sih kendala guru dalam menghadapi program Merdeka Belajar?
1. Tidak Memiliki Pengalaman dengan Kemerdekaan Belajar
Pengalaman personal para guru terkait kemerdekaan belajar masih minim. Menurut Shintia Revina, peneliti dari SMERU Research Institute, sebuah lembaga yang bergerak di bidang penelitian sosial-ekonomi di Indonesia, menyebutkan telah banyak program pemerintah yang sebenarnya bertujuan untuk mempromosikan perubahan paradigma dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Beberapa program di antaranya seperti Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) maupun Kelompok Kerja Guru (KKG).
Menurut Revina, alasan guru belum mampu mengadopsi kemerdekaan belajar dipicu oleh cara dan pengalaman guru belajar di bangku kuliah. Kurangnya rujukan penyelesaian soal dengan variasi metode di buku teks pun diduga sebagai penyebabnya. Minimnya pengalaman pembelajaran dengan cara merdeka ini juga disebabkan saat guru masih menjadi siswa, sebagai mahasiswa calon guru, maupun ketika menjalani pelatihan sebagai guru dalam jabatan.
2. Keterbatasan Referensi
Buku teks yang ada saat ini dinilai masih berkualitas cukup rendah. Baik buku guru maupun siswa yang diterbitkan pusat perbukuan atau penerbit swasta belum memberikan referensi yang dapat membantu guru dalam memperoleh rujukan terkait bagaimana memfasilitasi pembelajaran berpusat pada siswa dengan efektif.
Keterbatasan dalam mendapatkan referensi pelaksanaan Merdeka Belajar inilah yang kemudian juga menjadi guru dalam menciptakan kegiatan pembelajaran yang sesuai.
3. Akses yang Dimiliki dalam Pembelajaran
Adanya perbedaan akses digital dan akses internet yang belum merata juga menjadi kendala yang dihadapi guru dalam pelaksanaan merdeka belajar. Dalam wacana pelaksanaan merdeka belajar yang disampaikan Mendikbud, ada enam model pembelajaran yang dapat diterapkan. Salah satu model belajar yang dapat dilakukan ialah daring.
Kelancaran pelaksanaan belajar secara daring pastinya ditentukan dari akses digital dan internet yang dimiliki guru dan siswa. Tidak sedikit sekolah-sekolah yang belum memiliki fasilitas memadai atau guru dan siswa yang aksesnya terbatas mengalami kesulitan. Perbedaan fasilitas, sarana prasarana dan kemudahan akses teknologi menjadi kendala yang terkadang dihadapi guru.
4. Manajemen Waktu
Dalam upaya transformasi proses pembelajaran, guru mungkin membutuhkan waktu lebih untuk belajar lagi supaya dapat adaptif dengan tuntutan perubahan yang diharapkan. Beberapa sekolah menentukan agenda yang cukup padat untuk melibatkan guru agar berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan.
Belum tugas-tugas dan tanggung jawab lain yang menyertai. Guru sebisa mungkin bergerak dan menemukan cara kreatif inovatif dalam pembelajaran. Tidak semua guru mampu mengatur waktunya dengan baik, terutama dengan kesibukan atau persoalan yang lain yang sekiranya dihadapi.
5. Kompetensi (Skill) yang Memadai
Minimnya pengalaman dalam implementasi kemerdekaan belajar juga menentukan kualitas atau kompetensi yang dimiliki guru. Beberapa guru bahkan mengalami kesulitan untuk menguasai atau menerapkan keterampilan dasar untuk kebutuhan belajar di era digital seperti Ms. Word, membuat presentasi yang menarik dan menyenangkan, dan lainnya.
Padahal, untuk melaksanakan merdeka belajar guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dengan melibatkan berbagai media atau model pembelajaran yang mendorong siswa. Kompetensi yang masih minim ini juga menjadi kendala guru dapat menjalankan merdeka belajar dengan cepat.
Bukan tanpa alasan adanya perubahan selalu diiringi dengan berbagai permasalahan. Sistem pendidikan yang dianggap usang perlu diperbaiki karena hasil evaluasi yang dilakukan selama ini.
Guru sebagai garda terdepan dari berbagai perubahan tersebut mau tak mau harus siap mengambil berbagai upaya dan berani belajar maupun mencoba. Agar tidak hanya beradaptasi, namun juga mampu menyiapkan siswa sebagai generasi bangsa supaya mampu menjawab tantangan di masa depan.