Mengenal konsep Teori Labeling dalam Pembelajaran. Berikut 7 Fakta Menariknya

parenting 26 Des 2020

Pernahkah Anda sebagai guru atau orangtua mengatakan kepada anak kalimat yang kurang baik seperti "Kamu kok susah sekali menghafalnya", "Kamu itu nakal sekali" dan lainnya.

Tahukah Bapak/Ibu, perkataan kepada anak untuk suatu tujuan yang merendahkan atau menjatuhkan mental anak ternyata bukan tindakan yang akan menyelesaikan masalah dan dapat merubah anak tersebut menjadi lebih baik. Bahkan pada banyak kasus anak akan berperilaku dan membiasakan dirinya menjadi seperti apa yang orangtua atau guru katakan kepadanya.

Ketika Anda mengatakan anak tersebut ‘malas’, ‘nakal’ dan sebagainya, maka anak memiliki kecenderungan mempertahankan dan melanjutkan kebiasaan tersebut sesuai perkataan yang Anda berikan kepadannya. Dampak selanjutnya anak akan menjadi minder, sakit hati, dan tidak percaya diri.

Fenomena ini yang dalam istilah sosiologi disebut dengan ‘Labeling’ (penjulukan). Teori labeling sendiri diperkenalkan oleh Edwin M. Lemert yang diilhami dari teori interaksi simbolik George Herbert Mead. Menurut teori ini adanya kontrol sosial memberikan konsekuensi terhadap munculnya penyimpangan. Teori ini muncul sebagai bagian dari penolakan terhadap teori konsensus atau fungsional struktural.

Beliau mengemukakan bahwa ketika seseorang diberi label atau cap negatif sesuai apa yang sudah dilakukannya (penyimpangan primer), maka orang tersebut akan cenderung melanjutkan atau mengulangi kembali perilaku atau tindakan tersebut (penyimpangan sekunder) sesuai identitas yang telah melekat pada dirinya. Artinya dalam konsep label, penyimpangan (deviance) terjadi karena adanya penyimpangan primer dan sekunder yang saling berkaitan.

Sebagai contoh ketika seorang anak diberi label sebagai ‘Anak nakal’ dan diperlakukan seperti anak nakal maka anak tersebut nantinya akan terus menjadi nakal.

Berbanding terbalik ketika seorang anak diberi label baik, maka secara psikologis akan tumbuh rasa percaya diri dan anak akan melakukan hal-hal baik seperti apa yang dilabelkan kepadanya.

Dalam kaitan ini, berarti sebagai guru dan orangtua harus bijak dalam memberikan label atau penjulukan kepada anak. Meskipun anak tersebut nakal, usahakan label yang diberikan janganlah yang berkonotasi negatif tetapi berilah penjulukan yang positif, agar anak bisa lebih percaya diri untuk menjadi baik sesuai dengan apa yang dilabelkan kepadanya.

Pentingnya Menjaga Mental Anak Selama PJJ Dari Kacamata Psikolog
Aspek-aspek psikologi yang ditimbulkan anak tidak boleh dibiarkan begitu saja. Mereka cenderung akan selalu berpikiran dan merasakan hal-hal negatif dan tidak bisa merasakan energi positif yang seharusnya mereka terima di masa pertumbuhannya.

Dalam pembelajaran sendiri labeling (penjulukan) sering digunakan oleh guru kepada para murid. Tidak jarang pelabelan yang diberikan mengandung makna dan arti negatif yang pada akhirnya membuat anak cenderung minder dan tidak percaya diri.

Adapun berikut tujuh (7) fakta mengenai teori labeling (penjulukan) :

1.   Merupakan Reaksi dari Teori Konsensus (Struktural Fungsional)

Tokoh teori labeling pada bidang sosiologi seperti G.Herbert Mead dan Howard Becker berpendapat bahwa penyimpangan (deviasi) bukan merupakan kualitas dari perilaku individu, melainkan konseukensi dari penerapan aturan yang ditetapkan oleh kekuasaan dan sanksi yang diberikan.

Jadi bisa dikatakan penyimpangan terjadi bukan muncul dari dalam diri individu (inheren) melainkan outcome atau konsekuensi dari pelabelan (penjulukan) yang diberikan kepada individu tersebut.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan teori konsensus yang meyakini bahwa penyimpangan individu muncul dari perilaku dan sifat individu yang bertentangan dengan aturan dan konsensus yang ditetapkan. Sehingga patut diberikan sanksi agar individu tersebut tidak mengulangi kembali penyimpangan tersebut (jera).

2.   Teori Labeling Tidak Berlaku Mutlak

Apabila kita melihat pada konteks nyata seperti dalam dunia pendidikan, kedua teori di atas tidaklah berlaku mutlak. Artinya baik teori labeling maupun struktural fungsional tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang didefinisikan. Misalnya ada banyak juga anak yang ketika diberi label baik, tetapi memiliki kecenderungan untuk berlaku nakal dan begitupun sebaliknya.

Sama hal ketika seorang anak diberi sanksi akibat perbuatan yang dilakukan tidak serta merta akan membuat anak tersebut mengulangi kembali perbuatannya seperti pernyataan teori labeling, begitupun sebaliknya dengan adanya sanksi belum tentu anak tersebut akan jera dan tidak mengulangi lagi penyimpangannya.

Jadi teori labeling dalam konteks dunia nyata sifatnya relatif dan bisa saja menjadi bias atau tidak relevan. Hal ini yang disebut oleh Howard S.Becker sebagai Moral Enterpreuners.

Sehingga terpenting, sebagai guru maupun orangtua selayaknya berlaku bijak dan tetap menjadi sosok panutan yang  bertindak dengan mengutamakan dampak positif dari keputusan dan tindakan yang diberikan terhadap anak (murid).

3.   Penyimpangan Muncul Akibat dari Adanya Aturan Sosial

Teori labeling meyakini penyimpangan merupakan hasil dari adanya aturan yang harus ditaati. Hal ini berarti penyimpangan (deviance) memiliki sifat relatif tergantung signifikansi moral dan konsensus yang berlaku pada suatu tempat.

Misalnya pada konteks pembelajaran. Siswa yang memiliki rambut gondrong, memakai pakaian yang tidak rapi, serta sepatu yang berwarna dalam lingkungan sekolah negeri merupakan sebuah kebiasaan yang menyimpang atau menyalahi aturan.

Kasus ini akan berbeda jika konteksnya adalah sekolah-sekolah swasta modern di kota besar. Pada sekolah swasta siswa laki-laki yang memiliki rambut gondrong, tidak berseragam, dan menggunakan sepatu berwarna merupakan hal yang dibolehkan dan bukan merupakan sebuah penyimpangan.

Sehingga para siswa tidak akan mendapatkan sanksi karena tidak ada aturan yang ketat berkaitan dengan cara berpakaian. Karena yang diprioritaskan adalah aspek lain seperti kemampuan kognitif dan bakat.

4.   Adanya Hubungan Antara Orang yang Mendapat Label dengan Penjulukan yang Diberikan

Teori Labeling (penjulukan) meyakini bahwa terkadang individu adalah korban yang tidak berdaya dari interpretasi atau penjulukan yang diberikan orang lain kepadannya.

Hal ini yang akan memaksakan individu memiliki identitas sosial seperti yang dilabelkan kepadanya meskipun sebenarnya bertentangan dengan keinginan pribadi indvidu tersebut.

Misalnya ketika seorang anak tidak memiliki motivasi dalam belajar, secara umum anak tersebut akan dicap sebagai ‘anak malas’ bahkan ‘kurang pandai’. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, bisa saja anak tersebut memiliki masalah lain yang tidak berkaitan dengan apa yang dilabelkan tersebut.

Akan tetapi karena label yang diberikan seperti itu, maka anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan atau mengiyakan penjulukan tersebut dan menjadi suatu hal yang sesuai dengan dirinya, padahal secara intrinsik tidaklah demikian.

Hal ini sesuai dengan pernyataan klasik William I Thomas yaitu, manusia (individu) cenderung memutuskan melakukan atau menjadi sesuatu berdasarkan penafsiran dari dunia disekelilingnya.

5.   Labeling Dapat Mengubah dan Menghilangkan Identitas Diri Sebenarnya

Teori labeling meyakini dengan adanya penjulukan terhadap seorang individu dari perilaku primer menjadi perilaku sekunder akan menghilangkan identitas asli orang tersebut.

Komunitas atau masyakarat akan lebih meyakini dengan status pelabelan yang sudah disematkan pada diri individu tersebut sesuai dengan penyimpangan primer yang dilakukan. Sehingga penyimpangan sekunder merupakan identitas yang dibentuk dari konsensus masyakarat atau orang lain di luar individu tersebut.

Kondisi ini membuat seseorang yang mendapatkan labeling akan cenderung merubah sifat dan karakteristiknya sesuai dengan apa yang sudah disematkan olehnya. Hal ini tentu saja bisa jadi akan berbeda dengan identitas diri asli individu tersebut.

Misalnya ada seorang anak pandai yang sering bergaul dengan anak-anak bolos dan nakal. Identitas asli anak ini yaitu 'pandai ' akan memudar atau hilang ketika si anak sering berbaur dengan kelompok anak yang sering bolos sekolah. Hal ini terjadi karena orang lain akan melihat kelompok anak tersebut secara umum. Sehingga label yang diperoleh anak ‘pandai’ tersebut juga akan menjadi anak nakal dan suka bolos, padahal sebenarnya tidak demikian.

6.   Labeling Bukan Berdasarkan Norma Melainkan dari Reaksi Orang Lain

Labeling muncul bukan didasarkan dari norma, melainkan tergantung dari penjulukan yang diberikan orang lain. Artinya komunitas sosial memiliki peran dalam memberi definisi, julukan, atau pemberi label (labelers) pada individu-individu yang memiliki tindakan yang menurut penilaian orang lain atau komunitas tersebut adalah negatif. Sehingga penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, melainkan melalui reaksi atau sanksi dari komunitas sosialnya.

Dengan adanya label yang dilekatkan pada diri seseorang maka individu (yang telah diberi cap) cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang (disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis) dan pada akhirnya menjadi identitas yang melekat pada dirinya.

7.   Ada Akibat yang Berbahaya dari Korban Penjulukan

Teori labeling berpendapat bahwa adanya labeling terhadap individu memiliki dampak yang besar terhadap individu tersebut. Dampak tersebut memiliki kecenderungan ke arah negatif, seperti tidak percaya diri, minder, depresi, sampai dendam.

Kondisi ini apabila tidak segera dipulihkan atau diatasi, akan berakibat fatal bagi diri individu bahkan orang disekitarnya. Bayangkan jika kondisi depresi atau tidak percaya diri terjadi pada anak atau murid kita, tentu saja akan sangat memprihatinkan.

Sehingga penting bagi orangtua atau guru untuk selalu memperhatikan permasalahan anak dan jangan memberikan label sembarangan terutama yang bermakna negatif. Karena penjulukan yang kurang baik kepada anak hanya akan merugikan psikis anak tersebut, dan bukan sebaliknya.

Itu dia beberapa fakta mengenai konsep teori labeling. Dalam pembelajaran atau lingkup keluarga Anda sebagai guru maupun orangtua harus memahami bahwa penjulukan (labeling) memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku dan jati diri seorang anak.

Apabila Anda sering memberikan label negatif kepada anak, maka nantinya anak akan tumbuh dan terbentuk menjadi individu yang juga kurang baik, seperti tidak percaya diri, pemarah, nakal, dan sebagainya.

Bukan Nakal, Perilaku Buruk Pada Murid Bisa Jadi Tanda Gangguan Kesehatan Mental
Apakah benar murid itu nakal? Apa sih sebenarnya definisi dari nakal? Apa saja penyebab kenakalan pada murid? Mungkinkah kenakalan itu bisa jadi karena adanya gangguan kesehatan mental?

Berbeda ketika Anda memberikan label anak Anda sebagai anak yang pandai, rajin, dan baik hati, maka anak akan memiliki kencenderungan berperilaku seperti apa yang telah dilabelkan kepadanya, karena secara psikis anak akan mempertahankan dan membuktikan bahwa dia bisa menjadi seperti apa yang dilabelkan kepadanya.

Jadi, pastikan untuk selalu memberikan teladan dan penjulukan yang baik kepada anak dan murid kita ya Bapak/Ibu.

Afandi Madjid

Educational Technology & Content Developer

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.