Mengenal Homeschooling Sebagai Model Pendidikan Alternatif
Kehadiran Homeshooling sebagai model pendidikan alternatif memiliki akar yang panjang. Homeshooling muncul sebagai bagian dari reaksi terhadap sistem pendidikan formal yang dianggap belum mampu secara efektif mengembangkan segala potensi dan minat anak.
Kurikulum pendidikan formal selama ini dianggap terlalu berfokus pada pencapaian kemampuan kognitif dan numerik, namun abai dengan pengembangan minat dan bakat anak pada bidang lainnya.
Alih-alih menumbuhkembangkan potensi anak, sekolah selama ini dianggap malah mematikan kreatifitas, minat dan daya kritis anak. Sekolah seolah hanya menjadi mesin kepentingan yang mengutamakan hasil kuantitatif bukan proses.
Ken Robinson, penulis buku The Element mengatakan bahwa kunci proses pendidikan dan pembelajaran yang baik untuk anak seharusnya tidak disamaratakan.
Setiap anak memiliki bakat, minat, dan kemampuan untuk mengolah informasi secara berbeda. Perbedaan ini seharusnya difasilitasi dengan cara memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap anak untuk secara aktif dan mandiri mengembangkan potensi dan minatnya.
Hal ini mengapa Howard Gardner dalam bukunya, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983), mengemukakan teori kecerdasan majemuk (Multiple Inteligence) dan membagi kecerdasan menjadi Sembilan (9) jenis yang memiliki level sama dan unik.
Artinya kecerdasan bukan hanya sebatas kemampuan dalam ranah kognitif dan numerik saja. Lebih luas kemampaun dalam bidang musik, visual, interpersonal, intrapersonal, kinestetik dan lainnya juga merupakan bagian dari kecerdasan yang harus diakui dan ditumbuhkembangkan dalam sebuah proses pendidikan anak.
Melalui pandangan tersebut, maka lahirlah Homeschooling sebagai model pembelajaran alternatif bagi para orangtua yang lebih percaya dengan didikan secara mandiri di luar pendidikan formal.
Karena orang tua meyakini dengan model homeschooling proses pembelajaran lebih bersifat moderat dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi anak.
Melalui pola pendidikan yang terbuka ini membuat setiap anak bisa berkembang secara kreatif dan mandiri sesuai dengan minat dan bakatnya tanpa terhalang dengan sistem dan tujuan pembelajaran yang mengikat.
Mengapa Homeschooling?
Homeshooling memang memberikan jaminan proses pembelajaran yang lebih fleksibel dan bermakna. Tidak heran apabila saat ini banyak para orangtua memutuskan untuk menyekolahkan anaknya secara mandiri di rumah atau lembaga Homeshooling.
Para orang tua yang memilih Homeshooling meyakini bahwa belajar bukan hanya sebatas datang ke sekolah, berseragam, menperoleh raport, mendapatkan predikat nilai yang bagus, tetapi belajar memiliki makna dan lingkup yang lebih luas dari sekadar itu.
Banyak hal positif dari pembelajaran model ini. Pada sekolah formal anak dituntut untuk selalu mengikuti sistem yang berlaku, sementara Homeschooling lebih menawarkan model pembelajaran yang memberikan jaminan keleluasaan bagi si anak untuk mengeksplorasi keingintahuan, minat, dan bakatnya dengan lebih aktif, kreatif dan mandiri.
Lantas, mengapa Homeschooling patut dipertimbangkan menjadi model Pembelajaran Alternatif bagi anak ?
1.Belajar Untuk Pengetahuan Bukan Untuk Mengejar Nilai
Pada sekolah formal nilai sudah menjadi tolok ukur mutlak dalam mengukur pengetahuan dan tingkat kecerdasan anak. Padahal tingkat kompetensi dan kecerdasan anak tidak semata berkaitan dengan aspek kognitif dan bisa terukur sepenuhnya melalui ulangan atau tes.
Pada model pembelajaran homeschooling, nilai tidak menjadi persayaratan mutlak. Proses evaluasi pembelajaran bisa dilakukan dengan beragam metode dan tentu saja juga memperhatikan aspek lain yang selama ini luput dari pertimbangan penilaian.
Proses penilaian banyak mengedepankan aspek analisis dan reflektif, yang lebih mengedepankan pada penilaian aktualiasi potensi diri, kecakapan hidup, nilai-nilai afektif dan hasil kerja (praktik) yang sudah dihasilkan.
2.Pengorganisasian Belajar yang Lebih Fleksibel dan Terbuka
Pada pembelajaran model ini, para orang tua atau tutor privat dapat menyiapkan kurikulum, metode, strategi, waktu, dan lokasi belajar yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Tentu saja semua bersifat fleksibel sehingga proses pembelajaran bisa menjadi lebih bermakna dan menyenangkan, karena belajar bisa kapanpun dan di manapun.
3.Potensi dan Bakat Anak Bisa Dimaksimalkan
Ketika di sekolah formal potensi, bakat, dan minat anak cenderung tidak berkembang karena dibatasi dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran yang seragam, maka hal tersebut berbanding terbalik dengan proses pembelajaran Homeschooling.
Model pembelajaran ini lebih mengutamakan pengembangan potensi diri setiap anak. Belajar juga bisa dilakukan dimanapun dan menggunakan sumber belajar apapun. Selain itu pengembanan life skill, karakter, leadership juga dirancang dengan pendekatan psikologi dan disesuaikan dengan karakteristik anak.
4.Lebih Mudah dipantau Lingkup Pergaulan
Saat ini banyak sekali terjadi aksi kenakalan dan kriminalitas dikalangan anak sekolah dan remaja. Faktor lingkungan dan pergaulan yang salah umumnya menjadi penyebab.
Tentu sebagai orangtua tidak ingin melihat anaknya terjerumus dalam pergaulan yang menyimpang. Sehingga memilih sekolah informal seperti homeschooling merupakan pilihan yang paling baik untuk mencegah anak terpapar oleh pergaulan yang salah. Para orangtua juga bisa menyesuaikan dan memupuk nilai-nilai yang dianut kepada anak dengan lebih mudah dan konstruktif.
5.Biaya Pendidikan yang Bisa Disesuaikan
Biaya Pendidikan homeschooling untuk anak tentu bisa disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang sudah direncanakan oleh Bapak/Ibu. Selain itu, biaya yang sudah ada juga bisa diatur dengan skala prioritas. Bapak/Ibu bisa mendahulukan biaya-biaya yang sifatnya penting terlebih dahulu kemudian disusul dengan kebutuhan pelengkap atau tambahan pada waktu berikutnya.
Biaya juga tergantung dari metode dan format Homeschooling yang digunakan. Biaya Homeschooling tunggal atau internal dari keluarga tentu saja tidak akan sama dengan majemuk maupun komunitas. Bisa jadi biaya menggunakan format tunggal akan lebih mahal daripada majemuk dan komunitas, begitupun sebaliknya. Jadi semua tergantung dari perhitungan bijak Bapak/Ibu.
Apa Pertimbangan dalam Memilih Homeschooling ?
John Cadlwell Holt (pemerhati pendidikan) dalam bukunya (How Children Fail,1964) mengemukakan:
'Manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya’.
Pandangan ini selaras dengan konsep pedagogi kritis ‘Hadap Masalah’ yang dikemukakan Paulo Freire. Kutipan kalimat singkat itulah yang menjadi tonggak awal kemunculan Homeschooling.
Menurut Holt kegagalan sekolah sebagai lembaga akademis bukan terletak pada kurang usahanya penerapan sistem sekolah, melainkan kesalahan kuncinya terletak pada sistem dan kurikulum itu sendiri.
Pada tahun 1977 setelah Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: ‘Growing Without Schooling’, membuat Homeschooling semakin berkembang dan mulai diminati sebagai model pendidikan alternatif.
Homeschooling atau sekolah rumah muncul sebagai alternatif saat orangtua merasa anaknya tidak cocok dengan sistem pendidikan formal.
Ketika pendidikan formal belum mampu memenuhi hak anak dalam pengembangan potensi dan keunikannya masing-masing, Homeschooling hadir untuk mengatasi hal tersebut.
Bapak/Ibu dapat memilih alternatif pembelajaran Home Based Learning ini apabila menginginkan untuk mendidik langsung anaknya maupun hendak menggunakan jasa guru privat yang dipercaya.
Selain itu Homeschooling juga bukan merupakan jenis pendidikan yang hanya semata dilakukan di rumah.
Mengunjungi museum, mengikuti les musik, dan belajar presentasi publik maupun bahasa asing pada berbagai lembaga pembelajaran privat juga merupakan bagian dari pembelajaran Homeschooling dalam konteks yang lebih luas.
Melalui Home Education ini, orangtua memiliki tanggungjawab yang penuh dalam menentukan tujuan model, metode, materi, keterampilan dan nilai-nilai yang hendak dikembangkan kepada anak. Tentu saja semua itu dipilih atas dasar pertimbangan minat dan bakat anaknya.
Selain pertimbangan teknis di atas, faktor lain yang perlu menjadi pertimbangan ketika hendak memutuskan anak kita akan menempuh pendidikan formal atau mengambil pilihan alternatif Homeschooling adalah mengenai kondisi psikologi (mental), kesehatan anak, minat, bakat, fleksibiltas, tujuan orangtua dan cita-cita anak.
Sebagai orangtua, Bapak/Ibu harus mempertimbangkan banyak hal sebelum sepakat memilih Homeschooling sebagai model pendidikan untuk anaknya. Misalnya terkait metode dan format Homeschooling yang akan dipakai, apakah menggunakan metode tunggal, majemuk, atau komunitas.
Selain itu terkait biaya, fasilitas pembelajaran dan kondisi lingkungan apakah tersedia dan mendukung ataukah tidak. Semua aspek tersebut harus dengan matang dipertimbangkan sehingga tidak menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Pendidikan merupakan bagian yang penting bagi kelangsungan perkembangan diri dan masa depan anak, sehingga sebagai orangtua yang bijak jangan sampai salah mempersiapkan pendidikan yang terbaik bagi anak.
Bagaimana Pembelajaran Homeschooling yang Ideal ?
Pembelajaran model Homeschooling memiliki beragam metode dan strategi yang bisa digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran. Metode yang paling umum dipakai adalah metode Unschooling, The Classical, Charlotte Manson (The Living Book), The Montesori, The Eclectic, School at home, dan lainnya. Metode-metode ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak-anak.
Sementara strategi yang sering dipakai dalam pembelajaran Homeschooling diantaranya, Project Based Learning, Thematic Learning, Game Based Learning, dan Service Learning. Semua strategi yang ada ini tentunya akan lebih baik dikombinasikan dan dicari formula yang paling tepat untuk dipakai dalam pelaksanaan pembelajaran.
Tentu saja penggunaan metode dan strategi sifatnya fleksibel dan dinamis. Jadi para tutor dan orangtua yang hendak melakukan pembelajaran Home Education harus cerdas dalam memilih dan memadukan berbagai strategi dan metode yang cocok untuk anak atau muridnya.
Perlu dipertegas juga bahwa dalam pembelajaran Homeschooling ini anak diposisikan sebagai subjek pendidikan sehingga pendekatan yang digunakan adalah Student Centered.
Fokus pengembangan kompetensi tidak hanya pada aspek kognitif tetapi juga yang berkaitan dengan kecakapan hidup, pembentukan karakter, kemampuan berhubungan sosial, peduli lingkungan, serta pengoptimalan minat dan potensi diri secara aplikatif dan faktual.
Adapun bentuk penerapan strategi pembelajaran seperti yang sudah dijabarkan di atas dapat diterapkan dalam bentuk seperti di bawah ini :
1.Belajar dari Beragam Tema Kehidupan
Metode yang digunakan bisa beragam. Terkait Strategi pembelajaran Bapak/Ibu bisa menggunakan Thematic Learning. Melalui strategi ini anak-anak akan mempelajari beragam mata pelajaran dalam satu tema besar.
Misalnya dengan tema laut, anak-anak bisa belajar mengenai ekosistem laut, sejarah dan siklus hidup hewan laut, struktur tubuh hewan laut, cara mencegah pencemaran laut, hingga cara merawat hewan laut.
2.Belajar dari Rasa Ingin Tahu
Pada tahap perkembangan pra operasional sampai operasional konkret anak-anak umumnya memiliki rasa ingin tahu yang lebih mengenai sesuatu hal dan fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Melalui strategi Project Based Learning anak-anak dapat diajak untuk belajar dan menganalisis berbagai macam hal dari rasa keingintahuan tersebut. Misalnya anak-anak penasaran mengapa sebuah tanaman bisa tumbuh dan berbuah. Maka Bapak/Ibu bisa mengambil tema proyek ‘Tumbuhan’ dengan mengarahkan anak-anak untuk mengidentifikasi dan menganalisis proses perkembangan sebuah tanaman.
3.Belajar dari Game
Era digital saat ini semua aktivitas sudah memanfaatkan berbagai macam gawai digital dan koneksi internet, termasuk dalam aktivitas pembelajaran. Tidak heran, anak-anak usia 7-12 tahun saat ini sudah mampu menggunakan gawai untuk berbagai keperluan. Selain menonton YouTube, aktivitas yang umum dilakukan adalah bermain game.
Kesukaan anak dalam bermain game dapat dimanfaatkan oleh para orangtua untuk membuat aktivitas tersebut menjadi sarana pembelajaran yang mengasyikan untuk anak. Cobalah cari berbagai macam jenis game pembelajaran kemudian ajak anak untuk belajar sambil bermain dengan game tersebut. Buatlah suasana pembelajaran menjadi aktivitas yang menyenangkan, sehingga anak-anak tidak merasa sedang dalam kondisi belajar.
4. Belajar Melayani
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa belajar bukan hanya membuat anak menjadi pintar secara kognitif. Belajar harus juga bisa membentuk anak agar memiliki karakter dan kecakapan hidup yang baik dan bermanfaat untuk dirinya maupun orang lain secara konstruktif.
Belajar dengan menggunakan strategi Service Learning, akan membantu anak-anak untuk mengenal dan menyadari akan pentingnya kemampuan sosial. Anak akan diajarkan berempati, peduli, dan aktif dalam aktivitas dan masalah sosial pada lingkungannya.
Misalnya anak diajarkan untuk menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu diajarkan juga dampak buruk dari membuang sampah sembarangan, efek jangka panjang penggunaan sampah plastik, dan pentingnya memisahkan sampah yang bisa didaur ulang dan yang tidak bisa. Anak juga perlu diajarkan prinsip 3R, bagaimana mengelola sampah, sampai cara menanam pohon sebagai upaya memperbaiki ekosistem. Cara-cara seperti ini sangat penting bagi bekal anak-anak dimasa mendatang. Sehingga aktivitas pembelajaran dengan strategi ini perlu diperbanyak dan dioptimalkan.
Bapak/Ibu, dalam Pendidikan dan pembelajaran, tidak ada sistem dan model yang paling baik, melainkan yang ada adalah yang paling cocok dan ideal. Sebagai pendidik dan orangtua sudah sepatutnya memilih dan memadukan berbagai macam model, metode, strategi, dan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, karakteristik, dan potensi anak sehingga menjadi ideal dan efektif.
Thomas Alfa Edison, Benyamin Franklin, Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang lahir dari sekolah Informal. Kunci kesuksesan yang diraih dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang sudah mereka buat dan bagi tentu saja bukan karena semata model dan strategi yang digunakan.
Belajar bagi mereka adalah proses panjang yang melibatkan banyak aspek dan pengalaman konstruktif. Belajar harusnya dilakukan sepanjang hayat dan tidak dibatasi oleh ruang, sistem dan waktu. Prinsip belajar bagi mereka adalah memerdekakan dan memanusiakan manusia, bukan sebaliknya.