Mengapa TK di Jepang Tidak Mewajibkan Pelajaran Membaca dan Berhitung?
Pelajaran membaca dan berhitung atau yang biasa disebut calistung saat ini sudah mulai dikenakan sejak jenjang usia dini. Banyak sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan Taman Kanak-Kanak (TK) yang sudah mengenalkan calistung. Banyak TK mengejar target, agar setelah lulus semua peserta didiknya sudah bisa membaca. Ini tidak bisa dilepaskan dari masih adanya beberapa sekolah dasar (SD) yang memberikan syarat masuk bisa membaca dan berhitung. Padahal secara teori perkembangan tumbuh kembang anak, belum tepat bila anak usai dini dituntut bisa membaca dan berhitung. Pemerintah juga sudah mengeluarkan kebijakan, bahwa masuk SD tidak harus bisa membaca dan berhitung.
Pendidikan Calistung di TK
Banyaknya sekolah TK yang menjadikan pelajaran calistung sebagai salah satu pelajaran wajib tidak terlepas dari permintaan orang tua juga. Banyak orang tua yang ingin anaknya sudah bisa membaca dan berhitung sejak usia dini. Banyak orang tua berprinsip lebih cepat lebih baik. Termasuk tentang kemampuan calistung ini. Semakin cepat anak memahami calistung, semakin baik juga untuk prestasi anak di masa mendatang. Benarkah demikian?
Menurut psikolog anak dan keluarga, Yulita Semet M.Psi dari Rainbow Castle sekarang ini muncul fenomena orangtua menyekolahkan anak di PAUD atau TK dengan harapan sebelum masuk Sekolah Dasar sudah bisa calistung. Maklum, di berbagai sosial media dan internet banyak sekali tersebar berita mengenai kehebatan anak di usia dini. Ada yang sudah bisa membaca di usia 3 tahun, ada pula yang sudah menguasai calistung di usia 4 tahun.
Ini tentu memacu semangat bersaing orangtua untuk menjadikan buah hatinya sebagai anak yang unggul sehingga kemampuan tersebut diajarkan sejak dini. Padahal, imbauan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri menyebutkan jika calistung seharusnya bukan menjadi syarat anak untuk masuk ke jenjang sekolah dasar.
Menurut sejumlah teori psikologi, sebenarnya aktivitas membaca, menulis dan berhitung lebih ideal jika diajarkan di usia 7 tahun.
Mengapa? Sebab di usia itulah kemampuan motorik dan sensori sebagai modal untuk menulis, membaca dan berhitung telah matang sehingga belajar pun jadi lebih optimal.
Menggegas anak untuk mahir calistung di usia dini bisa berdampak pada demotivasi belajar anak di masa yang akan datang. Anak jadi tidak termotivasi untuk belajar dan akhirnya mogok sekolah. Belum lagi dampaknya pada kesehatan mental, di mana perasaan tertekan untuk belajar bisa berujung pada stres atau depresi,
Anak-anak di TK tak selalu harus ditekankan untuk belajar calistung. Sebab, ada beberapa hal lain yang tak kalah penting diajarkan dan lebih sesuai dengan usianya. Misalnya mengajarkan anak tentang aturan dasar di rumah dan sekolah. Selain itu di usia ini pun anak bisa belajar tentang kemandirian, seperti kemampuan soal toilet training, di mana anak sudah tahu tentang penggunaan kloset dan cara membersihkan diri dengan benar. Serta kemampuan dasar lain seperti mengenakan sepatu, pakaian dan makan serta minum sendiri dan merapikan tas yang telah disediakan. Sebagaimana dengan yang diajarkan oleh TK-TK yang ada di Jepang.
Pendidikan TK di Jepang
Di Jepang, terdapat dua macam pendidikan prasekolah yang biasanya diikuti sebelum memasuki Sekolah Dasar yaitu hoikuen/child care, serta youchien/kindergarten. Pendidikan prasekolah bukan kewajiban, namun lebih dari 95% anak-anak usia 3-6 tahun di Jepang mengikutinya.
Kalaupun tidak mengikutinya, anak-anak di Jepang akan mengikuti beragam kegiatan untuk anak-anak yang diselenggarakan pemerintah lokal, organisasi nirlaba, kominkan community center atau taman bermain.
Pendaftaran murid baru di youchien berlangsung sekitar Oktober, tapi sejak beberapa bulan sebelumnya calon murid baru sudah dapat mengikuti semacam trial (hiokoko) di youchien. Masa percobaan itu diadakan sebulan sekali dan berlangsung sekitar satu jam, biasanya dimulai di awal tahun pelajaran yaitu bulan April.
Berbeda dengan kegiatan anak TK di Indonesia, di Jepang ada kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak. Bukan membaca, menulis dan berhitung, namun lebih ditekankan pada pembentukan karakter. Menurut pemerintah Jepang, pembentukan karakter menjadi faktor paling penting, dibandingkan kemampuan calistung.
Karakter orang Jepang dibentuk semenjak dini. Ini yang membuat orang Jepang ketika dewasa terkenal memiliki kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi. Semua diawali dari pembentukan karakter yang baik saat di taman kanak-kanak.
Sekolah TK di Jepang, berfokus untuk melatih moral sekaligus dikembangkan rasa tanggung jawab. Mereka banyak diajarkan mengenai seni, dongeng, cerita, menyanyi, dan tentu saja bermain permainan tradisional. Tidak ada sistem kenaikan kelas. Mereka tidak mesti berkompetisi dalam hal akademik di usia yang masih belia
Di Jepang, anak-anak dibiasakan untuk unpacking dan packing barang-barangnya sendiri selama di sekolah; mulai dari sepatu, sandal, snack box, baju ganti, sampai peralatan sholat. Anak-anak TK di Jepang juga diajarkan kegiatan practical di dunia nyata seperti mencuci piring, tidying up after meal, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Anak-anak TK di Jepang tidak dituntut bisa calistung, sehingga mereka lebih banyak menggambar, bernyanyi, serta kegiatan lain yang menumbuhkan kreativitas. Tidak heran, dinding sekolah biasanya dipenuhi karya-karya yang mereka buat sendiri. Anak-anak juga kerap diajak tur untuk melatih kepekaan mereka terhadap lingkungan sekitar, misalnya ke taman bermain, museum, atau kebun binatang.
Di sekolah, guru tidak berperan sebagai orang yang memberikan materi. Mereka berposisi sebagai orang dewasa yang mengarahkan anak-anak. Banyak memberikan semangat, selalu ceria, lincah, serta menjadi teman sepermainan. Hampir tidak ada guru yang mengenakan pakaian formal. Mereka memakai baju olahraga demi memudahkan gerak saat mengawasi peserta didiknya.
Murid TK di Jepang sudah dibiasakan untuk membuang sampah pada tempatnya. Mereka juga diperkenalkan pada jenis sampah yang ada, dan nantinya sampah akan dikelompokkan sesuai jenisnya di tempat sampah yang berbeda. Dari sinilah mereka belajar menjaga kebersihkan dan displin dalam membuang sampah.
Selain itu beberapa hal yang diajarkan pada sekolah TK di Jepang adalah :
· kegiatan motorik halus seperti origami, clay (lilin mainan), meronce, meremas kertas koran, memindahkan air dengan spons, menjemur baju dengan jepitan, dan lain-lain
· kegiatan motorik kasar, seperti bersepeda, lompat tinggi, menendang bola, berenang, senam, merangkak, dan lain-lain
· keterampilan bahasa, maka dari itu bu guru sering membacakan anak cerita, dan memancing anak untuk saling mengobrol, kegiatan menceritakan apa yang dia gambar, dan lain-lain.
· kemampuan berpikir dan mengungkapkan pendapat, maka dari itu bu guru sering mengajak anak diskusi untuk hal-hal kecil yang ada di sekelilingnya
· empati dan simpati kepada orang lain, maka dari itu guru selalu mengajarkan cara meminta maaf, memaafkan, berterima kasih, cara meminjam mainan, memperhatikan orang lain yang sedang mengajaknya berbicara, dan lain-lain
· kemandirian dalam merawat diri sendiri, seperti ke toilet, memakai dan membuka baju sendiri, merapikan mainan, makan dengan duduk, tidak pilah pilih makanan, dan lain-lain.
Taman Kanak-kanak juga menjadi fase murid di Jepang menjadi seseorang yang disiplin dan peduli akan kebersihan lingkungan hingga tumbuh dewasa.
Pendidikan TK di Jepang fokus pada apa yang dibutuhkan oleh anak usia dini, dan mereka langsung mempraktekkan pendidikan itu dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu berteori dan dinilai oleh orang dewasa. Hal ini yang pada akhirnya menghasilkan manusia Jepang dengan kualitas yang disiplin dan memiliki etos kerja tinggi.