Kurikulum Darurat Membantu atau Menyusahkan Guru?
Kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ telah berlangsung selama hampir enam bulan ini. Anak-anak belajar secara mandiri di rumah dengan didampingi orang tua. Mereka mengerjakan tugas yang diberikan bapak dan ibu guru, melalui paltform online yang dipilih. Idealnya, guru memberikan materi terlebih dahulu, baru kemudian memberikan tugas atau latihan soal. Sayangnya, di beberapa situasi hal ini tidak terjadi karena berbagai alasan. Mulai dari gawai yang tidak mendukung, sinyal yang kurang stabil untuk mengirim materi lewat video, dan lain sebagainya.
Akibat dari berbagai keterbatasan, jadinya guru lebih banyak memberikan soal-soal latihan saja. Hal ini membuat pemahaman anak-anak terhadap materi pelajaran menjadi tidak merata. Ada yang bisa memahami materi secara mandiri, dan ada juga yang tidak. Latar belakang anak didik pun, memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Ada yang merasa nyaman dengan pembelajaran secara daring dan bisa mengikuti dengan baik. Akan tetapi, ada juga yang merasa kesulitan, dan lebih menyukai pembelajaran secara tatap muka. Kondisi ini membuat pencapaian anak didik tidak merata.
Melihat kondisi seperti ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim, mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus.
Kurikulum Darurat ini disahkan mulai 4 Agustus 2020, dengan tujuan memberikan fleksibilitas bagi satuan pendidikan dalam menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik di masing-masing sekolah.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mencatat bahwa terdapat 43% peserta didik berada pada zona hijau dan kuning. Jumlah ini tersebar di 276 kabupaten dnan kota di seluruh Indonesia. Satuan pendidikan yang berada pada zona hijau dan kuning diperbolehkan mengadakan Pembelajaran Tatap Muka atau PTM. Sedangkan sisanya, sebanyak 57% peserta didik lainnya berada pada zona merah dan kuning. Jumlah ini tersebar di 238 daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, dan mereka belum diizinkan melakukan pembelajaran tatap muka. Oleh karena itu, mereka tetap melakukan pembelajaran jarak jauh secara daring. Perbedaan kondisi ini membuat standar pencapaian anak didik pun berbeda.
Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan kurikulum darurat untuk satuan pendidikan yang masih melaksanakan PJJ, untuk jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMU.
Tujuan Adanya Kurikulum Darurat
Kurikulum darurat ini bertujuan untuk menyederhanakan kurikulum pendidikan di masa pandemi. Kemendikbud melihat kompetensi dasar setiap mata pelajaran dan menguranginya dan memilih kompetensi dasar yang terpenting saja. Oleh karena, pembelajaran jarak jauh tidak bisa disamakan dengan pembelajaran tatap muka. Terdapat banyak keterbatasan saat penyampaian materi secara daring. Oleh karena itu, Kurikulum Darurat menyederhanakan standar pencapaian setiap jenjang pendidikan. Penyederhanaan kurikulum ini tetap mengacu pada kurikulum 2013, dan disesuaikan dengan kondisi negara yang sedang mengalami pandemi.
Nadiem berharap dengan adanya kurikulum darurat ini, para guru bisa lebih fokus menyampaikan esensial materi secara lebih mendalam. Mendikbud mengatakan bahwa pelaksanaan kurikulum darurat ini berlaku hingga akhir tahun. Akan tetapi, satuan pendidikan tidak harus menerapkan kurikulum darurat di sekolah-sekolah mereka, namun mempunyai opsi sebagai berikut, yaitu:
1. Bisa tetap menerapkan Kurikulum Nasional.
2. Bisa menerapkan Kurikulum Darurat.
3. Bisa melakukan penyerdahanaan kurikulum secara mandiri.
Dari ketiga opsi di atas, pihak sekolah dan guru diberi keleluasaan untuk menentukan kurikulum yang mau dipakai. Ini dilakukan agar pihak sekolah bisa menyesuaikan dengan kondisi di sekolah masing-masing. Kondisi anak didik di masing-masing daerah juga berbeda. Seharusnya keleluasaan ini bisa meringankan beban kerja guru. Akan tetapi, ternyata keleluasaan memilih tiga opsi yang ditawarkan Kemendikbud ini, justru menimbulkan berbagai tanggapan dari pihak guru. Seperti yang muncul di linimasa media sosial. Ada yang menyetujui diberlakukannya kurikulum darurat. Akan tetapi, ada juga yang merasa keberatan dengan diberlakukannya kurikulum darurat.
Dampak Negatif Kurikulum Darurat
Kurikulum Darurat yang diharapkan bisa membantu program pembelajaran jarak jauh, ternyata menimbulkan kebingungan di para guru. Penyebabnya adalah karena pihak sekolah diberikan kebebasan untuk memilih salah satu dari tiga opsi Kemendikbud tersebut. Persatuan Guru Indonesia mengungkapkan bahwa terdapat aspirasi yang berbeda antara pemerintah, guru, dan wali murid. Ini membuat mereka menjadi bingung karena diberikan tiga opsi dalam menjalankan kurikulum pendidikan.
Masyarakat memang menginginkan kurikulum masa pandemi yang lebih sederhana, atau kurikulum dengan standar minimum yang bisa dicapai anak didik di masa pandemi. Pihak sekolah melalui guru dan kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk menyesuaikannya. Akan tetapi, dengan adanya tiga opsi di atas, justru menimbulkan kebingungan baru bagi para guru. Tentu tidak mudah menyatukan aspirasi para orang tua murid. Semua mempunyai keinginan yang berbeda-beda menyangkut pendidikan anak-anak mereka.
Dampak Positif Kurikulum Darurat
Kurikulum Darurat ini memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah kurikulum darurat menyederhanakan kompetensi dasar dan standar pencapaian dengan tetap mengacu pada kurikulum 2013. Selain penyederhanaan ini, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia juga menyediakan modul untuk pembelajaran spesifik. Khususnya untuk jenjang pendidikan SD dan PAUD. Modul ini merupakan panduan bagi guru dan orang tua, sehingga bisa mendampingi anak-anak didik belajar secara mandiri di rumah. Orang tua tidak akan kebingungan lagi saat menemani anak-anak PJJ secara mandiri di rumah.
Modul ini juga diharapkan bisa membantu para guru dan anak didik agar bisa melakukan pembelajaran secara menyenangkan. Sebagai contoh, modul untuk jenjang PAUD, anak didik diajak Bermain sambil Belajar. Sedangkan modul untuk anak didik jenjang pendidikan SD, berorientasi pada literasi, pendidikan karakter, numerasi, dan kecakapan hidup.
Selain modul pelajaran, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyediakan asesmen diagnostik yang bisa digunakan guru saat menjalankan kurikulum darurat. Tujuannya agar guru dapat mendiagnosis kondisi kognitif dan non kognitif anak didik, yang mengalami pembelajaran jarak jauh.
Guru juga diharapkan bisa mengetahui kondisi standar kompetensi anak didiknya. Apakah anak didik bisa mengikuti sesuai standar kompetensi, atau justru malah tertinggal. Seberapa jauh tertinggalnya, dan berapa banyak anak didik yang tertinggal? Jika hal ini diketahui dengan baik oleh guru, maka guru bisa mengambil langkah untuk membantu anak didik tersebut.
Jadi, sebenarnya kurikulum darurat bisa mempunyai sisi yang membantu para guru. Jika ada opsi yang agak membingungkan, bisa di musyawarahkan dengan pihak sekolah. Tentukan terlebih dahulu opsi yang mau digunakan atau bisa juga dengan menggabungkan satu atau dua opsi yang bersinggungan.
Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dari itu, yaitu bagaimana menyampaikan materi pelajaran pada anak didik dengan menarik. Ini membutuhkan kreativitas tersendiri agar materi tersampaikan dengan baik. Jangan sampai waktu dan energi terkuras untuk memilih kurikulum yang akan dipakai, sehingga melupakan tujuan awal pembentukan kurikulum itu sendiri. Setuju kan, bapak dan ibu guru?