Apa Itu Taksonomi SOLO dan Relevansinya pada Deep Learning?
Tujuan utama dalam proses kegiatan belajar bukanlah membuat siswa mampu menjawab soal, tetapi juga membantu siswa untuk mampu memahami bagaimana cara mereka berpikir dan berkembang dalam memahami materi pelajaran. Guru perlu mengetahui sejauh mana pemahaman siswa berkembang dari waktu ke waktu. Apakah mereka hanya mengetahui sedikit informasi saja? Atau mereka sudah mampu menghubungkan konsep dan menjelaskan ide pembelajaran secara utuh?
Namun, mengukur kualitas pemahaman siswa bukan hal yang mudah dilakukan. Guru membutuhkan cara atau alat bantu yang dapat memberikan gambaran lebih dalam mengenai kemampuan siswa dalam memproses dan membangun pengetahuan yang dimilikinya. Adapun alat bantu yang dapat membantu guru untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki siswa dalam memproses pengetahuan yang dimilikinya adalah taksonomi SOLO (Structure of the Observed Learning Outcomes).
Taksonomi ini dapat membantu guru untuk memetakan tingkat kedalaman pemahaman siswa, mulai dari yang belum paham sama sekali hingga sudah mampu berpikir kritis dan menciptakan gagasan baru. Dengan menggunakan alat bantu ini, guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang lebih tepat sasaran dan mendorong siswa untuk belajar secara lebih mendalam, bukan hanya sekadar menghafal materi saja.
Apa Itu Taksonomi SOLO?
Taksonomi SOLO adalah singkatan dari Structure of the Observed Learning Outcomes, yang berarti Struktur Hasil Belajar yang Teramati. Konsep taksonomi SOLO dikembangkan oleh dua pakar pendidikan yang bernama John Biggs dan Kevin Collis untuk melihat seberapa dalam pemahaman yang dimiliki siswa terhadap suatu materi. Taksonomi SOLO tidak hanya sekadar melihat hasil akhir saja, tetapi juga turut menilai kualitas dari isi pemikiran siswa. Artinya, SOLO dapat membantu guru dalam memahami cara berpikir dan berkembang siswa, bukan hanya sekadar mengecek apakah jawaban yang didapatkan siswa sudah benar atau tidak.
Adapun tujuan utama dari taksonomi ini yaitu untuk mendorong siswa lebih dalam (deep learning), bukan hanya sekadar menghafal saja. Dengan menggunakan SOLO, guru bisa membuat pertanyaan, tugas, atau aktivitas yang sesuai dengan level berpikir siswa. Taksonomi SOLO juga dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, yaitu kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Lima Tingkatan dalam Taksonomi SOLO
Taksonomi SOLO menggambarkan lima level pemahaman siswa terhadap suatu materi pelajaran. Semakin tinggi tingkat levelnya, maka semakin dalam dan kompleks pemikiran yang dimiliki siswa. Berikut penjelasan masing-masing tingkatan:
1. Pre-structural (Belum Paham)
Pada tahap ini, siswa belum memahami materi sama sekali. Mereka mungkin menjawab tidak nyambung, memberikan informasi yang salah, atau bahkan tidak tahu harus menjawab apa.
Contoh:
Soal: "Apa yang dibutuhkan tumbuhan untuk fotosintesis?"
Jawaban: “Tanaman butuh pupuk agar tidak layu.”
Artinya: Jawaban yang diberikan siswa tidak relevan. Maka, siswa belum memahami konsep fotosintesis.
2. Uni-structural (Paham Satu Aspek)
Siswa mulai memahami satu bagian dari materi, tapi masih sangat terbatas dan belum bisa mengembangkan lebih jauh.
Contoh:
Soal: “Apa yang dibutuhkan tumbuhan untuk fotosintesis?”
Jawaban: “Tumbuhan butuh air.”
Artinya: Jawaban yang diberikan siswa benar, tetapi hanya satu unsur dari banyak faktor (belum lengkap).

3. Multi-structural (Paham Beberapa Aspek)
Siswa mengerti beberapa bagian dari materi, tapi belum menghubungkannya menjadi satu kesatuan utuh. Pemahamannya masih terpisah-pisah.
Contoh:
Soal: “Apa yang dibutuhkan tumbuhan untuk fotosintesis?”
Jawaban: “Tumbuhan butuh air, cahaya matahari, dan karbon dioksida.”
Artinya: Jawaban siswa lengkap, tetapi siswa belum menjelaskan hubungan antar unsur tersebut.
4. Relational (Pemahaman Terpadu)
Pada tingkatan ini siswa mampu menghubungkan berbagai bagian informasi menjadi satu pemahaman yang utuh dan logis. Mereka mulai menganalisis dan menjelaskan konsep dengan baik.
Contoh:
Soal: “Apa yang dibutuhkan tumbuhan untuk fotosintesis, dan bagaimana prosesnya?”
Jawaban: “Tumbuhan membutuhkan air, cahaya matahari, dan karbon dioksida. Semua ini digunakan oleh daun untuk menghasilkan makanan melalui proses fotosintesis.”
Artinya: Siswa memahami elemen-elemen dan bisa menjelaskan hubungan antar elemen.
5. Extended Abstract (Pemikiran Mendalam & Kreatif)
Pada tingkat tertinggi, siswa mampu menggeneralisasi, membuat kesimpulan baru, atau menerapkan konsep dalam situasi lain. Tingkatan ini menunjukkan tanda siswa suah mampu berpikir kritis dan reflektif.
Contoh:
Soal lanjutan: “Mengapa proses fotosintesis penting bagi kehidupan di bumi secara keseluruhan?”
Jawaban: “Fotosintesis menghasilkan oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup, dan menjadi dasar rantai makanan. Tanpa fotosintesis, kehidupan di bumi tidak bisa berlangsung.”
Artinya: Siswa bisa memperluas konsep ke level global dan menjelaskan dampaknya.
Apa Itu Deep Learning dalam Pendidikan?

Ketika mendengar istilah deep learning, banyak orang langsung mengaitkannya dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Namun dalam dunia pendidikan, deep learning memiliki arti yang berbeda. Di sini, deep learning tidak berkaitan dengan mesin, tapi dengan cara siswa belajar secara bermakna dan mendalam.
Deep learning = Pembelajaran yang Bermakna dan Berkelanjutan
Deep learning dalam konteks pendidikan berarti siswa tidak hanya sekadar menghafal fakta atau rumus, tapi benar-benar memahami makna dari apa yang dipelajari. Mereka mampu melihat hubungan antara konsep, mengaitkannya dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya, dan bahkan menggunakannya di situasi baru.
Jadi, tujuan utama deep learning adalah menumbuhkan pemahaman yang tahan lama, bukan pengetahuan yang cepat lupa setelah ujian selesai.
Ciri-Ciri Deep Learning dalam Pendidikan:
- Menghubungkan Konsep
Siswa tidak belajar satu hal secara terpisah, tapi bisa melihat bagaimana satu materi berkaitan dengan yang lain. Misalnya, saat belajar tentang ekosistem, siswa bisa menghubungkannya dengan topik tentang rantai makanan, perubahan iklim, dan dampaknya terhadap manusia.
- Berpikir Kritis
Siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi mempertanyakan, mengevaluasi, dan menganalisis apa yang mereka pelajari. Mereka bisa membedakan mana informasi yang masuk akal dan mana yang perlu ditelusuri lebih lanjut.
- Mampu Menerapkan di Situasi Nyata
Pada kesempatan ini, siswa dapat menggunakan ilmu yang telah mereka pelajari untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di kehidupan sehari-hari. Contohnya, siswa yang belajar tentang pengolahan limbah bisa merancang cara sederhana untuk mengelola sampah di rumah atau sekolah.
- Belajar dengan Tujuan dan Rasa Ingin Tahu
Deep learning juga ditandai dengan motivasi internal siswa untuk belajar. Mereka belajar bukan hanya untuk nilai, tapi karena mereka ingin tahu dan ingin mengerti.
Relevansi Taksonomi SOLO terhadap Deep Learning

Taksonomi SOLO sangat penting dalam mendukung proses deep learning karena memberikan kerangka berpikir yang jelas dan bertahap tentang bagaimana pemahaman siswa berkembang. SOLO membantu guru untuk tidak hanya melihat hasil belajar siswa, tetapi juga memahami seberapa dalam siswa memproses informasi. Inilah yang membuatnya sangat relevan dalam upaya menciptakan pembelajaran yang bermakna dan mendalam.
1. SOLO Membantu Mengukur Kedalaman Pemahaman Siswa
Dengan SOLO, guru bisa melihat bukan hanya apakah siswa tahu jawabannya, tetapi juga bagaimana mereka berpikir. Seorang siswa yang hanya tahu satu fakta berarti berada di level uni-structural, sedangkan siswa yang bisa membuat hubungan antar konsep dan menerapkannya di situasi baru bisa berada di level relational atau bahkan extended abstract. Ini sangat berguna untuk melihat apakah siswa benar-benar memahami materi atau hanya sekadar menghafal.
2. Membantu Guru Merancang Pertanyaan dan Tugas yang Tepat
Taksonomi SOLO bisa digunakan sebagai panduan untuk membuat pertanyaan, tugas, atau asesmen yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Misalnya:
- Pertanyaan Multi-structural: “Sebutkan tiga faktor yang memengaruhi fotosintesis.”
Artinya: Mendorong siswa untuk mengingat dan menyebut fakta yang mereka ketahui. - Pertanyaan Extended Abstract: “Menurutmu, bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi proses fotosintesis dan kelangsungan hidup tanaman?”
Artinya: Mendorong siswa untuk berpikir kritis, menghubungkan konsep, dan membuat prediksi dari suatu informasi.
Dengan membuat soal yang bertingkat, guru bisa membantu siswa naik ke level pemahaman yang lebih tinggi secara bertahap.
3. SOLO Mendorong Proses Belajar yang Lebih Bermakna (Deep Learning)
Setiap level dalam taksonomi SOLO dapat menggambarkan tahapan dalam proses belajar, dari yang paling sederhana hingga paling kompleks. Penerapan konsep taksonomi SOLO sejalan dengan konsep deep learning yang menekankan:
- hubungan antar konsep,
- pemahaman mendalam,
- kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
Dengan mengikuti struktur SOLO, guru bisa merancang pembelajaran yang secara sistematis membawa siswa dari sekadar tahu menuju mampu berpikir mandiri dan menciptakan gagasan baru.

4. SOLO Membantu Siswa Melihat Progres Mereka Sendiri
Bukan hanya guru, siswa pun bisa menggunakan SOLO untuk mengevaluasi diri. Mereka bisa belajar mengenali, “Saya baru bisa menyebutkan fakta, tapi belum bisa menjelaskan kenapa.”
Hal ini membantu siswa menyadari bahwa belajar bukan soal cepat, tapi soal bertumbuh. Ini juga bisa menumbuhkan motivasi internal dan semangat untuk belajar lebih dalam lagi.
Demikianlah penjelasan mengenai taksonomi SOLO. Taksonomi SOLO bukan sekadar alat untuk menilai, tapi juga peta jalan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna dan mendalam. Dengan memahami dan menerapkan SOLO, guru bisa membimbing siswa naik tangga berpikir dari sekadar mengingat, sampai mampu menciptakan ide baru. Inilah esensi dari deep learning dalam pendidikan.