7 Cara Mengatasi Psikologis Victim Mentality Kepada Anak di Masa Pertumbuhannya
Kita memang tidak bisa mengawasi secara 24 jam anak -anak kita. Terlebih lagi jika kita orang tua yang bekerja. Namun, tidak ada salahnya jika kita sebagai orang tua, selalu memperhatikan anak kita jika sedang berada di rumah. Jangan sampai menyesal kemudian karena kita sedikit lengah dalam memberikan perhatian kepada anak kita.
Kita tidak ingin jika anak kita terkena victim mentality syndrom, apa itu victim mentality? Victim mentality adakah satu kecenderungan dimana anak secara psikologis merasa dia adalah sebagai korban. Anak yang memiliki victim mentality ini akan terbawa terus sampai mereka dewasa. Jika kita sebagai orangtua tidak berusaha untuk mengatasinya, hal ini akan mempengaruhi masa depan anak. Oleh karena itu, perlu perhatian lebih jika muncul kecenderungan victim mentality pada anak.
Anak juga punya rasa dan perasaan. Rasa kecewa teramat sangat bisa menjadi salah satu faktor pemicu pada anak sehingga dia mempunyai syndrom victim mentality. Bisa jadi karena orangtua, selalu membela saudara yang lebih muda, sehingga anak yang lebih tua merasa menjadi korban. Jika hal ini terjadi berulang kali, bisa menimbulkan victim mentality syndrom pada anak.
Tips Mengatasi Psikologis Victim Mentality Syndrom pada Anak
Seorang kakak tidak harus selalu mengalah pada adiknya, begitu juga sebaliknya. Sesekali berikan pengertian pada mereka tentang hal ini, agar keduanya tidak merasa selalu menjadi pihak yang dirugikan. Selain itu, cobalah melakukan pendekatan berikut ini, untuk mengatasai psikologis victim mentality syndrom, yaitu:
1. Berikan Pendekatan pada Anak untuk Mengenal Sang Pencipta
Berikan pondasi dalam hidupnya. Pondasi yang utama adalah dengan cara mengenalkan anak pada Sang Pencipta. Mengajarkan tentang agamanya, ketuhanannya, mengenalkan dan mengajari anak tentang ibadah membuat anak-anak merasa dekat dengan sang pencipta.
2. Mengajari Anak Tentang Rasa Syukur
Dengan rasa syukur, anak akan fokus pada hal-hal positif dalam hidupnya. Cara pandangnya akan berubah, tidak lagi melihat kekurangan yang ada, melainkan melihat kelebihan-kelebihan yang ia punya. Dengan rasa syukur, diharapkan anak tidak lagi merasa mengasihani diri sendiri. Oleh karena di luaran sana banyak orang-orang yang tidak seberuntung dirinya. Sesekali, ajak anak berkunjung ke rumah sakit, ke panti asuhan, atau sekadar berjalan melihat keadaan di sekitar tempat tinggal kita. Biarkan anak melihat kondisi yang berbeda dengan kesehariannya.
3. Mengajari Anak Tentang Cara Memaafkan
Mengajarkan anak tentang memaafkan, merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena dengan memaafkan, anak-anak belajar untuk tidak menyimpan dendam. mencintai dengan tulus, dan berteman dengan penuh kasih sayang. Dengan belajar memaafkan beban yang ada akan terasa ringan. Anak diajarkan untuk fokus lebih menghargai dan mencintai dirinya sendiri.
4. Mengajari Anak Tentang Pemecahan Masalah
Masalah selalu ada di dalam kehidupan anak. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengajarkan anak tentang problem solving. Dengan begitu, anak-anak terbiasa untuk survive dalam kehidupan, tidak mudah menyerah dan penuh semangat. Anak-anak juga menjadi lebih mandiri, dan bertanggung jawab. Sebaliknya anak-anak yang tidak terlatih untuk memecahkan masalah dalam hidupnya, cenderung merasa paling menderita sepanjang hidupnya. Tidak memiliki semangat juang, dan cenderung menyalahkan orang lain. Jika hal ini berlanjut hingga dewasa, akan sangat disayangkan. Anak-anak kesulitan untuk menata masa depannya, baik di kehidupan pribadi maupun kariernya.
5. Mengajari Anak Mengelola Emosinya
Mengajari anak tentang mengelola emosi, bagaimana dia menghadapi orang-orang yang telah mengecewakannya. Dengan belajar mengelola emosinya, anak-anak memiliki kecerdasan emosi, yang akan memberikan keuntungan baginya di masa yang akan datang. Emosi yang terkendali membuat anak bisa berpikir dengan jernih saat menghadapi masalah. Jika anak menghadapi masalah, anak-anak boleh merasa kecewa ataupun marah. Hanya saja, dengan pengendalian emosi yang bagus, ungkapan marah dan kecewa tersebut tidak berlebihan.
Anak juga harus diberikan pemahaman, kalau emosi yang meledak-ledak akan merugikan diri sendiri. Misalnya, ada anak yang sering merusak barang saat marah, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan. Berikan pengertian pada anak, bahwa hal itu hanya akan mereka sesali di kemudian hari. Terlebih saat dunia maya mudah diakses seperti sekarang. Berapa banyak video luapan kemarahan masyarakat yang beredar di dunia maya? Tentunya ini bukan contoh yang baik. Berikan pemahaman pada anak tentang hal seperti itu.
6. Mengajak Anak untuk Membantu Orang Lain
Mengajak anak untuk membantu orang lain, merupakan cara yang bisa digunakan untuk mengatasi victim mentality syndrom pada anak. Libatkan anak terhadap pekerjaan rumah tangga, atau berikan anak kesempatan untuk membantu anggota keluarga lainnya. Dengan membantu anggota keluarga, anak akan terbiasa untuk melatih orang lain di sekelilingnya. Jika keadaan memungkinkan, ajak anak berkunjung ke orang-orang terdekat yang kurang mampu. Biarkan anak melihat dan menyaksikan sendiri bahwa masih ada orang lain yang membutuhkan bantuannya. Ini membuat anak melupakan masalah yang dihadapinya dan fokus untuk membantu orang lain di sekitarnya.
7. Selalu Mendengarkan Anak
Selalu luangkan waktu untuk mendengarkan anak-anak. Saat mereka menceritakan hari-harinya di sekolah, kegiatan ekskulnya, atau pertengkaran kecilnya dengan teman atau saudaranya. Jangan pernah menganggap remeh masalah yang diceritakan oleh anak. Betapa banyak kasus perundungan yang berakhir menyedihkan, hanya karena orangtua yang kurang mendengarkan keluhan anak.
Berikan tanggapan terhadap cerita anak, dan berikan bantuan jika keluhan anak mengancam keselamatannya. Orang tua tidak perlu turun tangan langsung. Misalnya, dengan mengajarkan anak untuk membela dirinya. Bisa juga dengan melaporkan pada pihak sekolah, atau dengan mengawasi anak dari kejauhan. Intinya anak merasa tidak sendiri, saat ia menghadapi masalah.
Ada kalanya anak akan bergantung pada orangtua. Akan tetapi, adakalanya mereka ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh karena itu, orangtua harus bersikap tarik ulur agar anak tidak merasa didikte. Berikan pengertian dan bimbingan, serta pengawasan sesuai dengan tingkat pendidikan dan usia anak. Anak yang lebih kecil, mungkin membutuhkan perhatian yang lebih. Sedangkan anak yang lebih besar, lebih membutuhkan bimbingan dan pengawasan. Ini agar mereka tidak gegabah mengambil keputusan sendiri, saat menghadapi masalah.
Anak-anak membutuhkan dukungan moral agar tetap percaya diri, saat menghadapi masalah di hidupnya. Suatu hari nanti, mungkin ada yang meremehkan, mengecewakan mereka. Akan tetapi, dukungan orangtua akan membuat mereka kuat dan percaya diri, untuk mengatasinya. Semoga langkah-langkah di atas, bisa membantu mengatasi victim mentality syndrom yang sering dialami oleh sebagian anak.