Pengembangan Pembelajaran Melalui Konsep Konstruktivistik dan Sosiokultural
Jean Piaget merupakan seorang ahli psikologi kognitif yang berasal dari Switzerland. Ia meyakini bahwa belajar adalah proses penemuan sendiri, yakni sebuah proses yang dialami seseorang, berdasarkan pengalaman, baik dari pengamatan terhadap lingkungan maupun dilakukannya sendiri. Piaget (baca: Piase) meyakini bahwa seseorang belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Teori ini dikenal sebagai teori konstruktivisme.
Contoh sederhana dari Konstruktivisme ini ialah seorang anak akan meniru cara orangtuanya berbicara. Anak yang kasar, rata-rata memiliki orangtua yang cara berbicaranya kasar juga. Atau misalnya dia menjadi seorang pendiam, ia telah mempelajari bahwa kata-kata kasar membuatnya tidak nyaman, ia tahu itu buruk sehingga ia tak mau melakukan hal yang sama dengan orangtuanya.
Menurut teori Konstruktivisme, belajar didefinisikan sebagai proses pembentukan kontruksi pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri. Semua ilmu atau pengetahuan yang diperoleh berdasarkan persepsi siswa itu sendiri. Dikarenakan semua bergantung pada peserta didik, mereka sendirilah yang dituntut aktif dalam proses belajar, aktif menyusun konsep, aktif berpikir, dan memberikan makna pada hal yang sedang dipelajarinya.
Lalu apa peranan guru jika siswanya yang dituntut aktif? Guru bertugas memastikan dan membantu proses pengkontruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan dengan semestinya. Apabila ada yang keliru, guru patut meluruskan. Tentu saja tidak lupa untuk menstimulasi rasa penasaran siswa untuk terus berpikir. Jadi intinya siswalah yang berperan penuh terhadap proses belajar di kelas, guru hanya menghalau agar tidak keluar dari topik bahasan.
Ciri Belajar Konstruktivisme
Terdapat beberapa ciri belajar Konstruktivisme yang dikemukakan oleh ahli lain selain Piaget, yakni oleh Driver dan Oldhan (1994);
a. Orientasi
Peserta didik diberikan kesempatan untuk memunculkan serta mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik bahasan. Caranya ialah dengan memberikan waktu peserta didik untuk melakukan observasi terlebih dahulu. Lalu dapat dilihat tingkat antusiasme mereka bagaimana. Jika dinilai masih kurang, guru harus tetap kreatif mencarikan objek observasi yang menarik bagi para siswa.
b. Elitasi
Para peserta didik dalam hal ini mengungkapkan ide-idenya melalui kegiatan diskusi, membuat poster, menulis artikel terkait topik, dan lainnya.
c. Restrukturisasi Ide
Peserta didik melakukan klarifikasi ide dengan ide-ide orang lain, membangun serta mengevaluasi ide yang baru.
d. Penggunaan Ide Baru dalam Setiap Situasi
Dalam hal ini siswa perlu mengaplikasikan ide-ide yang telah digagas, didiskusikan serta dievaluasi pada berbaga situasi. Dari situ mereka dapat mempelajari hal baru, ternyata ide mereka dapat diaplikasikan hanya di situasi tertentu atau bahkan dapat diterapkan di seluruh situasi kehidupan.
e. Review
Setelah menerapkan ide, siswa perlu melakukan semacam evaluasi. Kira-kira ada yang perlu dibahas, direvisi atau ditambah.
Sementara Vygotsky merupakan seorang ahli psikologi kognitif dari Rusia yang meyakini bahwa perkembangan kognitif individu ialah sebuah hasil dari interaksinya dengan lingkungannya dan masyakarakat. Ia meyakini bahwa aspek sosial dan budaya seseorang berperan dalam membentuk perkembangan kognitif seseorang. Teori Vygotsky ini dikenal sebagai teori sosio-kultural atau bisa disebut sebagai teori konstruktif sosial.
Vygotsky mengklaim bahwa interaksi anak-anak terhadap lingkungannya, seperti dengan orangtua, guru, warga sekitar, bentuk budayanya sangat berpengaruh pada cara berpikir mereka. Kita sering temui sterotipe yang dilabelkan orang dari daerah tertentu, misalnya orang Batak yang cara bicaranya bernada tinggi, orang Madura memiliki jiwa wirausaha yang tinggi, orang pesisir cenderung berkata kasar dan semacamnya, itu semua merupakan bukti bahwa teori kognitif Vygotsky benar adanya.
Teori Sosio-Kultural Vygotsky memiliki dua prinsip, yang pertama ialah More Knowledge Other (MKO) yakni orang lain yang lebih berpengetahuan sebagai orang yang memahami topik atau tugas yang lebih baik daripada pelajar yang belum berpengalaman. MKO dapat memberikan instruksi verbal bagi anak untuk mengikuti, contohnya seperti guru dikelas memberikan perintah untuk mengikuti kelas dengan tenang.
Kedua adalah Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan kesenjangan antara apa yang diketahui saat ini, dan apa yang anak dapat ketahui jika dibantu oleh orang lain yang lebih berpengetahuan (MKO), artinya jika anak sering dipapar oleh MKO atau berinteraksi langsung dengan MKO, maka anak akan mendapatkan pengetahuan serta keterampilan di luar jangkauannya.
Menurut Vygotsky, peserta didik memiliki dua tingkat perkembangan yakni tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Ia mengartikan tingkat perkembangan sebagai proses beroperasinya intelektual individu pada saat itu juga serta kemampuan untuk mempelajari sesuatu yang khusus sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Lalu bagaimana cara menerapkan dan memotivasi siswa menurut teori Belajar Sosio-Kultur? Ikuti cara-cara berikut ini!
Tips Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Menurut Teori Belajar Sosio-Kultur
a. Siswa Terlibat Secara Aktif
Guru wajib memicu siswa agar terus aktif, hal ini dilandaskan oleh pernyataan Vygotsky tentang keterlibatan siswa secara aktif dalam suatu aktivitas pembeajaran memugkinkan mereka untuk menuai pengalaman yang mendalam tentang materi yang dipelajari. Hal tersebut dapat meningkatkan pemahaman para peserta didik lebih efektif.
Keterlibatan ini bisa berupa aktif fisik maupun secara mental-emosional. Bentuk aktivitasnya berupa interaksi antar peserta didik, siswa dan guru, memanipulasi benda-benda konkrit seperti maket, alat peraga, buku, dan alat lab.
b. Memperhatikan Pengetahuan Awal Peserta Didik
Mengapa guru harus memperhatikan pengetahuan awal para siswanya? Sebab, dengan memperhatikan pengetahuan awal siswa, guru diharapkan mampu menyusun strategi yang lebih efektif, padat dan mengena. Ini terkait dengan persiapan bahan ajar, penyusunan langkah pembelajaran, peralatan dan metode.
c. Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Peserta Didik
Syarat penting berkembangnya kemampuan interaksi antara satu siswa dengan siswa lainnya ialah berkembangnya kemampuan komunikasi. Lalu bagaimana cara mengembangkan kemampuan komunikasi para siswa? Tentu saja dengan kegiatan tanya-jawab, tugas kelompok yang terdiri dari beberapa orang lalu melakukan diskusi atau melakukan diskusi dalam lingkup yang lebih luas yakni dengan diskusi yang dilakukan semua anggota kelas, selain itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan pendapatnya baik itu secara lisan maupun tulisan.
Kedua teori di atas memilik kesamaan, yakni setiap individu mengalami perkembangan kognitif dipengaruhi oleh pengalaman dan mengadaptasi dari lingkungannya. Hal ini tentu saja dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Tanpa disadari, teori Konstruktivisme dan Sosio-Kultural ini otomatis teraplikasikan meski guru tidak menerapkannya dengan sengaja. Dari cara guru bertutur-kata, cara guru memperlakukan murid, cara guru menyampaikan pelajaran, cara guru mengapresiasi atau bahkan mempermalukann peserta didik. Maka dari itu guru wajib berhati-hati dalam bertindak terhadap para peserta didik.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa teori Konstruktivisme dan Sosiokultural telah diaplikasikan pada kurikulum Merdeka Belajar. Siswa menjadi fokus utama belajar, pembelajaran lebih fleksibel, terfokus pada materi-materi esensial, pengembangan soft skill dan karakter siswa. Jadi, kedua teori tesebut memiliki kekuatan yang cukup besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.