Mengapa Banyak Orang Sibuk Menunda Tidur Meski Kurang Istirahat?

kesehatan 8 Agt 2021

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia. Pada orang dewasa, kebutuhan tidur sekitar 6-7 jam per hari. Namun, mengapa orang-orang yang sibuk malah menunda jam tidurnya padahal sangat jelas kurang istirahat? Dalam buku Matthew Walker, "Why We Sleep: Unlocking the Power of Sleep and Dreams", ahli saraf mengatakan secara blak-blakan: “Semakin pendek tidur Anda, semakin pendek rentang hidup Anda”.

Dilansir dari BBC.com, Gu Bing merupakan direktur kreatif berusia 33 tahun di sebuah agensi digital di Shanghai, sering bekerja hingga larut dan mempertimbangkan untuk tidur sebelum pukul 02.00 dini hari. “Meskipun saya lelah keesokan harinya, saya tidak ingin tidur lebih awal,” katanya. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi, simak poin-poin berikut.

1. Blurring Boundaries

Blurring Boundaries atau batasan yang tidak jelas merupakan salah satu penyebab dari masalah ini. Ketidakjelasan batasan membuat para pekerja tetap merasa berada di lingkup pekerjaan, bahkan ketika sudah malam hari. Deadline yang tidak wajar dan banyaknya jenis pekerjaan membuat pekerja lebih memprioritaskan pekerjaan daripada jam tidur. Lebih memilih terlambat tidur dibanding esok harinya dihantui oleh pekerjaan.

Adanya Blurring Boundaries membuat orang-orang terutama pekerja kehilangan kesejahteraan sebagai manusia yang utuh. Hampir 24 jam dihiasi oleh kepentingan pekerjaan dan tuntutan-tuntutan yang di luar nalar.

Perasaan ingin menyelesaikan pekerjaan juga sering menjadi pemicu makin besarnya Blurring Boundaries. Harusnya, perusahaan memberikan jam kerja yang solid dan tidak membuat para karyawan dihantui oleh pekerjaan ketika keluar dari kantor.

Di Tiongkok, survei nasional pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 60% orang yang lahir setelah tahun 1990 tidak cukup tidur, dan mereka yang tinggal di kota-kota terbesar paling menderita (BBC.com).

Di negara kita sendiri masih banyak perusahaan yang mengadopsi Blurring Boundaries, terutama di kota-kota besar. Tidak hanya menyita jam tidur, namun juga menyita akhir pekan bagi sebagian pegawai.

10 Cara Menjaga Kesehatan Mental Murid di Kelas
Sekolah merupakan tempat atau pusat untuk mencari ilmu pengetahuan, wawasan, pergaulan, teknologi dan lainnya, serta menjadi sarana terbaik untuk melatih mental dan fisik peserta didik dengan tepat.

2. The Sleep “Catch 22”

Apa itu Catch 22? Ini adalah paradoks situasi dimana seorang individu tidak bisa lepas karena aturan bertentangan atau keterbatasan. Istilah ini diciptakan oleh Joseph Healer , yang menggunakannya dalam novel tahun 1961 "Catch 22". Contohnya adalah "Bagaimana saya bisa mendapatkan pengalaman sampai saya mendapatkan pekerjaan yang memberi saya pengalaman?" - Brantley Foster dalam "Rahasia Kesuksesan Saya".

“Orang-orang terjebak dalam Catch-22 ketika mereka tidak punya waktu untuk melepaskan diri dari pekerjaan mereka sebelum mereka tidur, hal itu kemungkinan akan berdampak negatif pada tidur mereka,” kata Kelly, seorang ahli psikologi di Sheffield University. Solusi sebenarnya, dia menyarankan, adalah memastikan bahwa individu diberi waktu untuk terlibat dalam kegiatan yang memberikan pelepasan ini. Namun, ini seringkali bukan sesuatu yang dapat dicapai oleh karyawan sendiri.

Sebagai contoh lain, Indira adalah salah satu karyawan bank swasta ternama. Memang jam kerjanya mulai pukul delapan pagi hingga pukul tiga sore. Namun, di lapangan ia harus masih mengerjakan laporan hingga pukul delapan malam. Belum lagi masih ada tugas di luar pekerjaan utamanya seperti memperingati hari kemerdekaan dengan membuat video kampanye menabung. Sepulang kerja, Indira memilih untuk take video dan mengeditnya meski sudah malam. Ia memilih begitu karena tidak mau mengambil risiko jika tugasnya tidak selesai.

3. Greater Flexibility

Greater Flexibility atau fleksibilitas yang besar membuat orang mudah dihinggapi rasa tanggung jawab pekerjaan lebih besar, terutama di masa pandemi. Mengapa masa pandemi memperbesar Greater Flexibility? Sebab adanya Work From Home membuat karyawan terlihat tidak begitu terbebani, bekerja melalui gawai, dan merasa lebih banyak waktu untuk mengerjakan tugasnya.

Dilansir dari BBC.com, laporan menunjukkan bahwa perusahaan sedang berupaya lebih keras dengan memberikan lembur pada karyawan karena mencoba bangkit kembali dari kerugian yang disebabkan oleh Covid-19. Krista Pederson, konsultan yang bekerja dengan perusahaan multinasional di China dari Beijing, mengatakan bahwa dia mengamati tren ini.

Perusahaan China melihat budaya kerja mereka sebagai keuntungan dibandingkan pasar seperti AS atau Eropa di mana orang cenderung bekerja lebih sedikit: “Mereka tahu mereka memiliki pekerja keras yang kejam dan akan melakukan apa pun untuk maju, termasuk bekerja sepanjang waktu, " dia berkata.

4. Hustle Culture

Hustle Culture ini menggambarkan keadaan seseorang yang harus selalu bekerja untuk sukses, sehingga seringkali tidak punya waktu untuk dirinya sendiri dan beristirahat, seperti liburan, kurang tidur, dan lainnya.

Kebanyakan orang-orang yang mengidolakan budaya ini beranggapan bahwa semakin lama bekerja, maka akan semakin sukses. Padahal kenyataanya, hanya sebagian orang yang merasakan sukses dalam hal finansial.

Fenomena ini tentunya tidak bagus untuk life balance. Karena tidak adanya keseimbangan dalam aspek kehidupan, seperti aspek kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan emosional. Hal ini tentu saja bisa memicu banyak masalah lainnya, dan berdampak bagi kesehatan tubuh.

Banyak orang beranggapan semakin sibuk maka akan semakin sukses, padahal dengan mengurangi jam tidur artinya sudah mengorbankan kesehatan. Biasanya didominasi oleh para millenial yang termotivasi oleh cerita-cerita sukses dan lingkungan yang menuntut.

Ciri paling dominan dari seorang hustlers yakni merasa bersalah apabila waktunya diisi dengan bersenang-senang atau istirahat. Segala hal yang mereka kerjakan harus berhubungan dengan pekerjaan atau hal-hal produktif lainnya. Semakin banyak bekerja, semakin dekat jalan untuk mewujudkan ambisi.

Hustlers berpendapat bahwa mereka adalah kumpulan orang produktif. Padahal, keduanya jelas berbeda.

Produktivitas diartikan sebagai cara menghasilkan output yang berkualitas dalam waktu singkat, sedangkan hustlers berusaha bekerja dalam durasi yang panjang, tanpa memperhatikan kualitas output yang berhasil diraih.

Budaya ini juga berdampak terhadap penurunan kreativitas individu. Menurut Dr. Jeanne Hoffman, psikolog dari UW Medicine, bekerja lebih dari 50 jam per minggu justru melumpuhkan produktivitas dan inovasi seseorang.

Yang terakhir, hustlers tak mau tertinggal di belakang. Mereka selalu belajar, bekerja, dan mengorbankan segalanya untuk sampai di garis puncak. Meskipun tujuannya baik, hustle culture membuat orang tak peduli lagi dengan kesehatan fisik dan mental.

10 Tips untuk Membantu Anak yang Tidak Bisa Fokus Belajar di Rumah
Jika anak fokus belajar, maka ia dapat memahami materi pelajaran serta mampu mengerjakan latihan soal yang diberikan guru dengan baik. Ia juga bisa mendapatkan nilai ujian yang lebih bagus. Hal tersebut berdampak baik bagi jenjang sekolah anak selanjutnya.

Bagaimana Dampaknya?

Menurut Mahendra di dalam buku "Tubuh Anda Cerminan Kesehatan Anda" (2010) menyebutkan, “Begadang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit dan disebabkan oleh rusaknya sistem imun, tubuh juga perlu beristirahat. Apabila tidak beristirahat, organ-organ tidak dapat melakukan fungsinya dengan optimal. Hal ini akan menimbulkan masalah atau penyakit yang dapat menyerang tubuh.” Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya begadang bukan lah kebiasaan yang bagus jika dipaksakan untuk dilakukan jika tubuh sedang kelelahan.

Dilansir dari CNN.com, seorang psikolog klinis, Aurora Lumbantoruan menjelaskan kurang tidur membuat reaksi emosional seseorang terhadap sesuatu cenderung meningkat. Akibatnya, seseorang yang kurang tidur menanggapi sesuatu dengan berlebihan, termasuk masalah sederhana.

"Jadinya, sesuatu yang negatif cenderung ditanggapi dengan lebay atau berlebihan dibandingkan yang cukup tidur," kata Aurora dalam peringatan World Sleep Day dari AMLIFE di Jakarta, beberapa waktu lalu. World Sleep Day tahun ini diperingati pada Jumat, 16 Maret.

Temuan yang dipublikasikan dalam Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry tersebut menunjukkan bahwa kurang tidur benar-benar bisa membuat kita sedih. Penelitian ini juga merujuk pada istirahat sebagai pilihan pengobatan utama untuk kondisi kesehatan mental tertentu, seperti depresi dan gangguan kecemasan.

Itulah beberapa alasan mengapa banyak orang sibuk yang menunda jam tidurnya padahal kurang istirahat. Padahal istirahat yang cukup sangat penting bagi kesehatan dan dapat membuat hasil pekerjaan lebih maksimal.

Miela Baisuni

Freelance content writer & social media specialist, traveller.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.