Konsep Step In – Step Out – Step Back untuk Melatih Rutinitas Berpikir Siswa

Mindset atau pola pikir anak tidak serta merta terbentuk begitu saja. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya baik secara langsung maupun tersirat. Rutinitas berpikir mereka sangat butuh pendampingan yang eksklusif agar dapat membangun karakter yang berkualitas. Oleh karena itu tingkah laku dan kepribadian seseorang tumbuh sesuai dengan proses belajarnya di masa anak-anak, terutama dalam berpikir.

Cara berpikir itu harus terus dilatih dengan berbagai metode yang efektif dan positif. Dari sini pula keberhasilan anak sangat ditentukan dalam menjalani kehidupannya. Menurut Iskandar (2008:661), baik tidaknya mindset anak dipengaruhi oleh 7 faktor. Apa saja faktor tersebut? Orangtua, keluarga, masyarakat, sekolah, teman, media informasi, dan diri mereka sendiri.

Dalam hal ini tentu orangtua dan guru punya peran yang lebih besar dalam pembentukan pola pikir anak.  Guna mewujudkannya, konsep Step In-Step Out-Step Back bisa menjadi salah satu metode yang diterapkan. Tidak hanya di sekolah, begitupun ketika berkegiatan di rumah dengan keluarga.

Penerapan Values, Identities, Actions untuk Melatih Rutinitas Berpikir Siswa
Dengan memahami proses berpikir siswa, maka kegiatan pembelajaran bisa berjalan secara maksimal.

Mengenal Konsep Step In – Step Out – Step Back

Selain belajar akademik, siswa juga sangat butuh pembelajaran sosial. Bagaimana mereka merespon orang lain, berinteraksi, menggunakan bahasa yang tepat, serta menilai orang lain harus menggunakan perspektif yang sehat. Konsep step in-step out-step back ini dihadirkan agar anak terlatih mengasah pola pikir yang terarah.

Formula dari konsep step in-step out-step back adalah sebagai berikut:

Choose : Mengidentifikasi seseorang di suatu situasi yang berada di sekitar

Step in : Mengutarakan apapun yang kita lihat dan ketahui mengenai orang tersebut. Bagaimana kondisinya, apa yang dirasakannya, dan terkait pengalaman hidup yang dijalaninya.

Step out : Apa yang kita butuhkan untuk mengenal orang tersebut lebih jauh? Bagaimana membangun perspektif pada orang tersebut dengan lebih baik?

Step back : Mengingat dengan jelas tentang eksplorasi perspektif sejauh ini, apa yang kita perhatikan dari perspektif diri sendiri, lalu apa yang perlu kita ambil dari perspektif orang lain?

Nah, formula di atas dilakukan tentu dengan pendampingan orangtua atau guru. Agar Anda memahaminya dengan baik konsep ini, perhatikan contoh berikut:

Ada tiga anak (Didit, Meme, dan Karin) yang dikumpulkan dalam satu kelompok. Mereka diberikan tugas untuk memberikan perspektifnya tentang seorang teman kelasnya yang sering terlambat. Sebut saja namanya Nori. Dia hampir setiap hari tidak datang tepat waktu ke sekolah. Selain itu, seragamnya jarang rapi, dan jarang mengerjakan tugas.

Pertama, guru memberikan instruksi agar ketiga siswa tadi mengungkapkan apa yang diketahuinya dan apapun yang mereka pikirkan tentang Nori. Ini adalah Step in. Begini jawaban mereka:

Didit : Dia pintar dalam hal kesenian dan olahraga. Tapi sayangnya Nori mengabaikan peraturan sekolah. Tidak terlihat berusaha untuk lebih baik.

Meme : Nori orangnya santai, tidak terlalu mempedulikan omongan orang lain. Setahuku dia merawat ibunya yang sakit seorang diri. Jadi, mungkin itu sebabnya  dia sering terlambat masuk kelas.

Karin : Nori sering meminta bantuanku untuk mengerjakan tugasnya. Sepertinya dia kesulitan memahami pelajaran akademik dengan baik. Butuh waktu lama untuk mengerti.

Setelah mereka mengutarakan pendapatnya berdasarkan apa yang dilihatnya, lalu guru mengarahkan untuk berpikir lebih luwes. Tidak hanya dari apa yang mereka lihat sendiri, tapi juga berusaha untuk lebih memahami sosok Nori. Apa yang dibutuhkan untuk mengetahui lebih detail? Tentu dengan mendengarkan pendapat orang lain dan mencari tahu lebih banyak terkait Nori. Tidak hanya tentang dirinya, tapi juga kondisi keluarganya. Tahap ini memasuki  Step out.

Hukum kausalitas itu selalu terjadi. Mengapa Nori sering terlambat? Mengapa Nori tidak berpenampilan rapi? Mengapa dia sering tidak mengerjakan tugas? Semua itu pasti ada penyebabnya. Dari uraian perspektif awal 3 siswa tadi sudah beragam. Terdapat beberapa informasi yang mana antar satu siswa dengan siswa lain baru mereka ketahui. Mulai dari kondisi ibu Nori yang sakit parah dan hidup hanya berdua dengan Nori. Kemudian kecenderungan Nori pada kegiatan kesenian dan olahraga daripada pelajaran akademik lainnya. Hal tersebut sudah memunculkan perspektif baru tentang seorang Nori. Tidak sebatas pada sosok Nori yang sering terlambat dan tidak mengerjakan tugas.

Kemudian lanjut pada proses berikutnya yakni Step back. Pada tahapan ini, siswa dikuatkan lagi pola pikirnya untuk memfilter apapun yang dilihat dan didengarnya. Mereka dilatih untuk mengoreksi lagi tentang perspektif dirinya sendiri. Jika ada yang bisa diambil dari perspektif orang lain, maka itu bukanlah hal yang dilarang. Begitu pun jika ada pendapat yang tidak sesuai dengan faktanya, maka buanglah jauh-jauh meskipun itu adalah pemikiran dirinya sendiri.

Setelah proses step back berlangsung untuk mengidentifikasi seorang Nori, maka bisa ditarik kesimpulan baru bahwasanya Nori butuh pendampingan khusus dalam belajar. Dia memang lemah dalam mata pelajaran eksak, tapi dia cerdas dalam hal olahraga dan kesenian. Ini bisa menjadi acuan bagi guru untuk mendukung bakat dan skillnya itu. Karena setiap anak punya keistimewaan masing-masing.

Teman sekelasnya pun tidak lagi memandang Nori sebagai anak yang malas. Tapi dia justru butuh bantuan untuk merawat ibunya yang sakit. Dia juga butuh teman untuk memahami pelajaran dengan lebih baik karena waktunya yang tersita. Dia tidak punya waktu belajar yang sama seperti siswa yang lain.

Dengan melakukan rutinitas berpikir seperti ini, siswa dapat memiliki pola pikir yang runtut, kritis, dan tidak mudah terprovokasi. Nah, apakah dengan contoh barusan, Anda sudah lebih paham bagaimana konsep step in-step out-step back?

Penerapan Stop, Look, Listen untuk Melatih Rutinitas Berpikir Siswa
Stop-Look-Listen adalah salah satu model komunikasi yang digunakan anak dan keluarga. Model ini telah digunakan sejak lama, terutama di departemen psikiatri.

Apa Tujuannya?

Konsep step in-step out-step back sangat berguna untuk membiasakan berpikir netral dan terbuka. Anak menjadi tidak mudah memberikan judge tanpa bukti yang nyata. Dengan konsep ini, anak terbantu untuk mengidentifikasi seseorang atau suatu kelompok dengan beragam perspektif. Tidak hanya berspekulasi saja, namun melakukan proses berpikir yang lebih kritis. Peserta didik juga akan terhindar dari kungkungan stereotype dan sikap rasisme karena dilatih melihat lebih luas.

Bagaimana Menerapkannya dengan Efektif?

Cara berpikir seperti ini tidak bisa instan. Butuh pembiasaan agar tertanam kuat dalam diri anak. Dimulai dari lingkungan keluarga yang memang paling dekat dengan anak. Konsep step in-step out-step back cocok diterapkan ketika menghadapi konflik dalam suatu kelompok.Tidak hanya itu, persoalan individu pun jadi lebih mudah diselesaikan ketika konsep ini dipakai.

Jika di ranah anak-anak, gaya ini dapat dipakai di banyak situasi juga. Sebagaimana sudah dicontohkan di atas, siswa dapat berpikir lebih jernih saat dihadapkan dengan teman yang menurut mereka kurang menyenangkan. Hal ini tentu mengajarkan kepada mereka agar lebih luwes dalam menjalin relasi dengan orang lain dan terhindar dari perilaku toxic people.

Lakukan latihan step in-step out-step back di dalam maupun di luar kelas. Gunakan objek yang ada di sekitar agar siswa lebih cepat terhubung dengan konsep ini. Jika di dalam kelas, Anda bisa juga menggunakan instrumen seperti cuplikan video untuk memancing pola pikir mereka dalam menerapkan step in-step out-step back dengan lebih menyenangkan.