7 Strategi Menghadapi Anak yang Lambat dalam Mencerna Materi Pelajaran
Setiap anak memiliki karakteristik berbeda-beda dalam proses belajarnya, salah satunya adalah kemampuan daya tangkap. Tak semua anak mudah mencerna materi pelajaran yang disampaikan secara klasikal (pola pembelajaran dimana dalam waktu yang sama, kegiatan dilakukan oleh seluruh anak sama dalam satu kelas).
Perbedaan kemampuan daya tangkap anak membuat anak-anak tertentu dilabeli “bodoh” dan “pintar”. Padahal, setiap anak dianugerahi potensinya masing-masing. Namun tak semua anak mampu mencerna materi dengan pola belajar klasikal. Menghadapi perbedaan daya tangkap ini membuat sebagian guru merasa gagal dalam mengajar.
Tak perlu risau, terdapat beberapa strategi dalam menghadapi anak yang dianggap lambat dalam mencerna materi pelajaran, simak tips-tips berikut.
1. Memahami Karakteristik Belajar Anak
Setiap anak memiliki karakteristik belajar yang berbeda-beda. Guru harus mengenali satu per satu siswanya terlebih dahulu untuk melihat gaya belajar apa yang cocok untuk anak tersebut. Ada gaya belajar visual, auditory dan kinestetik, dengan mengetahui guru bisa memilih cara menyampaikan materi yang disesuaikan. Tetapi apakah bisa mengajar siswa satu per satu? Tentu tidak, pembelajaran di Indonesia masih berbasis klasikal secara umum, namun bisa menggunakan variasi pembelajaran atau bisa mengkombinasikan visual, auditory dan kinestetik.
2. Tugas Lebih Variatif
Biasanya, pemberian tugas untuk siswa lebih banyak dengan latihan soal atau jenis-jenis tugas dengan output menulis. Di era teknologi sekarang ini, anak-anak lebih tertarik dengan hal yang berkaitan dengan perkembangan teknologi, minimal mereka bermain media sosial, atau sekedar menonton video melalui platform Youtube.
Pemberian tugas bisa disesuiakan dengan teknologi yang ada. Jika siswa diberikan tugas latihan soal matematika, alangkah lebih variatif jika siswa diberikan soal matematika yang lebih sedikit jumlahnya, tetapi diharuskan membuat video menjelaskan penyelesaian soal-soal tersebut yang nantinya diunggah di media sosial atau Youtube. Anak akan mengusahakan jawaban soalnya benar karena akan dipublikasikan. Selain meningkatkan kreativitas, tugas semacam ini juga mengembangkan rasa percaya diri dan keberanian untuk tampil.
3. Komunikasikan dengan Orang Tua
Orang tua adalah orang terdekat bagi anak. Mereka mengetahui lebih banyak tentang anaknya. Dengan demikian, guru bisa mengkomunikasikan tentang lambatnya anak dalam mencerna materi pelajaran. Selain itu, guru bisa menanyakan perilaku anak di rumah seperti apa, cara orang tua memperlakukan anak dan bagaimana pendampingan belajarnya di rumah. Dengan mengetahui hal tersebut, guru bisa memberikan arahan kepada orang tua.
Memberikan arahan pada orang tua bukan hal yang mudah jika anak tersebut berada di keluarga yang kurang harmonis atau dengan pola asuh permisif (anak dibiarkan semaunya). Tetapi cara ini cukup membantu, orang tua akan lebih memperhatikan perkembangan anaknya.
4. Gunakan Analogi
Seorang ahli di bidang psikologi bernama Piaget menjelaskan bahwa dalam teori perkembangan kognitif anak di usia 7-11 tahun memasuki fase Operational Konkret, dimana anak sudah mampu berpikir rasional, seperti penalaran untuk menyelesaikan suatu masalah yang konkret (aktual).
Dalam fase ini anak masih sebatas berpikir secara nyata tentang hal-hal sederhana di sekitarnya. Maka dari itu ketika menjelaskan materi pada siswa akan lebih mudah dipahami menggunakan analogi.
Anak di usia 7-11 tahun masih terbatas dalam berpikir abstrak, pemberian analogi yang jelas sangat membantu anak dalam menyerap materi pembelajaran. Lalu dalam pemberian tugas juga gunakan analogi, seperti soal cerita di mata pelajaran matematika. Anak akan membayangkan cerita tersebut, menangkap maksud dan memilih cara dalam menyelesaikan soal sesuai dengan apa yang dianalogikan oleh guru.
5. Istirahat Sejenak
Benedict Carey, seorang penulis buku How We Learn: The Surprising Truth About When, Where, and Why It Happens, menyatakan otak manusia bisa benar-benar menyerap suatu informasi jauh lebih baik ketika proses mencerna informasi tersebut dipisah dalam selang waktu tertentu. Guru bisa memberikan jeda selama 10 menit setiap 30 menit sekali dalam penyampaian materi.
Biarkan anak rileks atau hanya sekedar berbincang dengan teman sebangkunya dalam waktu 10 menit. Selain menyegarkan pikiran anak untuk persiapan menerima materi selanjutnya, anak juga bisa melatih aspek sosio-emosinya.
6. Pemberian Reward
Pada dasarnya, anak-anak menyukai reward atau penghargaan. Sudah wajar bagi manusia memiliki sifat kompetitif, bahkan sejak usia dini. Pemberian reward akan memberikan dorongan anak untuk meraihnya. Bagi anak yang mengalami kelambatan dalam menerima materi pelajaran, dia akan lebih mengusahakan diri.
Rewardtidak melulu dengan memberikan hadiah secara materi, tetapi bisa dengan pujian, atau privilege. Bentuk privilige bisa seperti diperbolehkan memilih tempat duduk yang diinginkan jika mampu menjelaskan kembali materi yang dijelaskan guru. Reward juga bisa berupa materi, seperti sekedar jajanan atau alat tulis.
Pemberian reward tidak dianjurkan untuk dilakukan terlalu sering karena bisa memicu persaingan tidak sehat antar siswa. Jika dilakukan sesekali, akan membuat siswa antusias seperti momen rekereasi. Lakukan secukupnya dan sesuaikan dengan situasi kelas.
7. Berhenti Melabeli Anak
Guru pasti bangga memiliki siswa yang pintar, tanggap, cerdas, kreatif dan percaya diri. Tetapi guru juga pasti selalu ingat dengan siswa yang dianggap nakal, nilai akademis rendah dan pemalu. Tidak salah mengingat mereka dengan kelebihan dan kekurangannya, yang menjadi masalah ialah ketika guru melabeli siswanya di mata umum.
Biasanya hal ini terjadi ketika guru memberikan peringatan yang menurunkan harga diri anak, seperti “Budi, jangan nakal ya” atau “Ani, nilaimu jelek terus, kamu pemalas ya tidak pernah belajar”. Peringatan dan ujaran kekesalan dibalut menjadi satu. Peringatan bisa diganti dengan kalimat “Budi, ayo fokus lagi belajarnya” atau “Ani, sini ibu bantu jelaskan lagi kalau masih belum paham materinya”.
Labeling negatif juga mempengaruhi motivasi anak untuk tidak mau berusaha lagi. Mereka merasa tidak perlu bersusah payah karena percuma berusaha, label yang diberikan guru melekat di benaknya. Hal ini juga membuat anak kurang percaya diri dan tumbuh menjadi pribadi yang mudah insecure.
Apabila anak mengalami gangguan daya tangkap yang serius, misalnya ber-IQ Borderline (skor IQ 70-79), sebaiknya dilakukan pendampingan khusus. Kini sudah banyak sekolah umum yang menyediakan layanan kelas inklusi (kelas untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang didampingi tenaga ahli di bidangnya).
Guru merupakan pekerjaan yang amat mulia, tidak sekedar memberikan materi dan tugas. Mendidik & membentuk siswa-siswinya menjadi generasi penerus berkualitas untuk masa yang akan datang. Maka dari itu cerminan masa depan bangsa juga terbentuk dari para pengajar.
Dalam bahasa Jawa, kata “Guru” memiliki makna yang amat mendalam yakni “Digugu lan Ditiru” artinya Dipercaya dan Ditiru. Maka dari itu sangat penting mengajar dengan hati karena hasilnya akan lebih maksimal.
Semoga 7 strategi di atas bisa membantu tenaga pengajar lebih maksimal dalam proses KBM Online maupun Offline !!