7 Budaya Pendidikan Ala Jepang yang Dapat Digunakan agar Belajar Optimal
Sistem pendidikan di Jepang dapat membentuk pemerintahan yang stabil, populasi yang sangat melek huruf, dan keberhasilan di pasar ekonomis yang kompetitif secara internasional. Siswa di Jepang banyak yang menempati prestasi akademik di bidang Matematika dan Sains secara internasional. Sistem pendidikan Jepang sangat disiplin dan terorganisasi. Setiap tahun ajarannya dibagi menjadi tiga periode. Siswa di Jepang memiliki total enam minggu liburan dan harus belajar dalam kurun waktu yang sama.
Sejak dini, siswa Jepang juga diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Materi pelajaran yang diperoleh siswa Jepang di sekolah mencakup berbagai bidang seperti sosial, seni tradisional, Sains, Matematika, ekonomi rumah tangga, pendidikan uap, pengkodean, dan robotika. Dengan pola budaya pendidikan karakter untuk membentuk sikap para siswanya, Jepang menjadi salah satu negara yang patut dicontoh untuk meningkatkan kualitas lulusan pendidikan. Hal ini disebabkan siswa Jepang tidak hanya mampu memperoleh hasil belajar yang maksimal, tetapi juga memiliki sikap mental yang kuat seperti ulet, gigih, mandiri, kreatif inovatif, dan santun.
7 Budaya Pendidikan Ala Jepang
Berikut ini 7 budaya pendidikan ala Jepang yang dapat digunakan agar belajar menjadi optimal.
1. Tidak Ada Ujian Sekolah
Di masa 3 tahun pertama siswa belajar, tidak ada ujian di Sekolah Dasar. Ujian sekolah akan diterima siswa ketika duduk di bangku kelas empat. Pemerintah Jepang melakukan kebijakan tersebut agar bisa lebih fokus dalam mengutamakan mental dan menghargai prilaku yang baik dibandingkan nilai. Fokus dalam pendidikan Jepang pada fase ini lebih mengutamakan mental dan karakter dibandingkan akademik siswa. Dengan begitu, siswa Jepang bisa dididik untuk menunjukkan rasa hormat dalam setiap sikap dan perilakunya baik terhadap guru maupun antar siswa.
Belajar sopan santun sedini mungkin lebih utama dibanding nilai ilmu pengetahuan. Negara lain sering kali mendidik siswa menjadi pintar menjadi lebih utama. Sebaliknya, siswa di Jepang justru lebih diutamakan memiliki sopan santun dibanding nilai pengetahuan. Oleh karena itu, siswa SD di Jepang tidak mengikuti ujian hingga mereka berusia 10 tahun atau duduk di kelas empat.
Siswa kelas satu hingga tiga hanya memperoleh tes-tes yang ringan karena tujuan utama pendidikan di fase itu adalah membangun perilaku dan karakter anak. Siswa akan diajarkan menghormati orang lain serta bersikap lembut terhadap alam maupun binatang. Selain itu, siswa juga diajarkan untuk menjadi orang yang dermawan dan mempunyai empati tinggi.
2. Tidak Ada Petugas Kebersihan di Ruang Kelas
Jepang tidak menyediakan petugas kebersihan yang akan membersihkan lingkungan sekolah maupun ruang kelas. Sebaliknya, tugas membersihkan lingkungan sekolah dan kelas diberikan kepada siswa. Saat harus membersihkan kelas, kantin, hingga toilet, kelompok-kelompok kecil yang dibagi secara adil membersihkan dengan jadwal yang bergilir sepanjang tahun.
Sistem pendidikan Jepang percaya bahwa mewajibkan siswa untuk membersihkan ruang kelas atau lingkungan sekolah dapat mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab, bekerja sama tim dan saling membantu satu sama lain. Selain itu, dengan meluangkan waktu dan tenaga untuk menyapu dan mengepel, siswa menjadi lebih menghargai pekerjaan apapun yang dilakukan oleh orang lain. Dengan begitu, siswa akan memiliki rasa hormat terhadap tata letak dalam ruang kelas dengan lebih baik dan lingkungan sekolah yang bersih.
3. Makan Siang Disediakan Sekolah
Sekolah di Jepang menyediakan makan siswa yang terdiri dari makanan sehat untuk dikonsumsi siswa saat jam makan siang kecuali siswa yang memiliki alergi serius mendapat pengecualian. Menu makanan yang disediakan sekolah disusun berdasarkan kebutuhan siswa oleh koki dan ahli gizi profesional.
Kebijakan makan siang di sekolah ini bertujuan untuk membentuk kebiasaan siswa dalam mengkonsumsi makanan sehat secara teratur. Saat makan siang, para guru juga akan ikut serta bersama seluruh siswa. Dengan demikian, hubungan positif yang terjalin antar siswa dan guru menjadi semakin kuat dan erat. Selain itu, interaksi antara siswa dan guru juga bisa membangun suasana kekeluargaan.
4. Seni Tradisional Menjadi Mata Pelajaran Utama
Setiap siswa akan diajarkan seni tradisional jepang misalnya Haiku (puisi Jepang) dan Shodo (kaligrafi Jepang). Kedua seni tradisional tersebut diajarkan agar siswa bisa lebih menghargai budaya mereka sendiri. Kaligrafi Jepang atau Shodo, merupakan pencelupan kuas bambu ke dalam tinta dan digunakan untuk penulisan hieroglif di atas kertas beras.
Bagi masyarakat Jepang, Shodo merupakan seni yang tak kalah populer dengan seni lukis tradisional. Sementara itu, Haiku adalah bentuk puisi yang menggunakan ekspresi sederhana untuk menyampaikan emosi mendalam kepada pembacanya. Kedua seni tradisionaal tersebut diajarkan kepada para siswa untuk menghormati budaya dan tradisi mereka yang telah berusia selama beradab-abad lalu.
5. Pakaian Seragam
Secara umum, siswa Jepang memakai seragam baju hitam untuk laki-laki dan baju sailor dengan rok potong sederhana bagi perempuan. Meskipun demikian, bentuk pakian seragam tidak memiliki standar baku. Sistem pendidikan Jepang dalam menerapkan pakaian seragam ini sangat berbeda dari sistem sekolah barat. Meskipun setiap sekolah memiliki kebijakan masing-masing, ada yang sangat ketat terhadap apapun yang dipakai siswa termasuk tas, riasan, hingga model potongan rambut.
Kebijakan sekolah yang menetapkan seragam untuk siswa diharapkan bisa menghilangkan berbagai hambatan dan menjadikan mereka siap bekerja. Selain itu, seragam sekolah juga bisa menumbuhkan rasa identitas dan memiliki siswa terhadap sekolah dan kebersamaan yang terbentuk antarsiswa.
6. Melakukan Lokakarya setelah Sekolah
Lokakarya usai sekolah begitu populer di Jepang. Untuk masuk ke Sekolah Menengah Pertama, siswa akan menghadiri lokakarya setelah sekolah atau mengikuti sekolah persiapan. Kelas yang disediakan di sekolah ini biasanya akan dilaksanakan pada malam hari. Oleh karena itu, melihat sekelompok anak kecil yang pulang dari kegiatan ekstrakurikuler pada sore hari merupakan hal biasa di Jepang.
Siswa di Jepang mempunyai jam sekolah 8 jam sehari. Selain belajar di sekolah, mereka juga belajar pada hari libur dan akhir pekan. Pentingnya lokakarya tambahan pada hari libur dilakukan untuk mengembangkan kemampuan siswa secara holistik khususnya sebelum mereka melaksanakan ujian umum. Siswa yang masih ikut belajar meski hingga larut malam karena harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler merupakan hal yang biasa di Jepang.
7. Tingkat Kehadiran Siswa di Sekolah yang Tinggi
Siswa Jepang hampir tidak pernah membolos dan jarang terlambat datang ke sekolah sehingga kehadiran bisa mencapai 99,99%. Sementara itu, sekitar 91% siswa di Jepang selalu mendengarkan apa yang diajarkan guru tanpa mengabaikan apa pun. Kemudian, dibalik faktor kehadiran siswa, proses pengajaran yang efektif juga berpengaruh besar dalam mewujudkan sistem pendidikan yang baik di Jepang.
Dengan begitu, budaya pendidikan Jepang patut dijadikan referensi agar bisa mencapai hasil pembelajaran optimal disertai dengan karakter dan mental yang kuat para siswanya.