Konsep Pendidikan Sekolah Taman Siswa yang Menghindari Perintah dan Hukuman

Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai pahlawan pendidikan Indonesia dengan hasil pemikiran cemerlangnya terhadap dunia pendidikan. Tak hanya berbentuk pemikiran dan gagasan semata, Ki Hajar Dewantara juga mengaktualisasikan kepeduliannya terhadap pendidikan yang diwujudkan dengan mendirikan sekolah pada tanggal 3 Juli 1922 dengan nama sekolah Taman Siswa.

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah alat yang bisa menyejahterakan orang banyak dan dapat pula menjadi mobilitas politik. Pendidikan dalam pandangan beliau adalah wadah yang akan melahirkan pemimpin hebat yang bisa mengajak seluruh rakyat memperoleh pendidikan secara merata.

Dengan mendirikan Sekolah Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara berharap bisa menjadi tandingan sistem pendidikan kolonial yang saat itu mengedepankan pandangan hidup materialistik, intelektualistik, dan individualistik, tetapi mengesampingkan pendidikan yang humanis (kemanusiaan) dan populis (bisa diakses seluruh rakyat tanpa membedakan latar belakang tertentu).

Asas-Asas Pendidikan yang Diterapkan di Perguruan Taman Siswa

1. Kodrat Alam

Ki Hajar Dewantara menegaskan dalam asas ini bahwa setiap manusia secara kodratnya memiliki akal pikiran yang berkembang dan bisa dikembangkan dengan sebuah perencanaan yang dirancang sebaik mungkin untuk mengembangkan kemampuan berpikir manusia yang disebut pendidikan.

2. Kemerdekaan

Asas ini menekankan pada keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan yang ditempuh melalui proses belajar yang berjenjang dari tingkat dasar sampai tertinggi.

3. Kebudayaan

Keyakinan yang ditekankan dalam asas ini bahwa manusia merupakan makhluk berbudaya yang akan terus mengalami dinamika dalam pembentukan diri hingga menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Dengan demikian, pendidikan harus diterapkan menyesuaikan konteks budaya.

4. Kebangsaan

Ki Hajar Dewantara menegaskan dalam asas kemerdekaan bahwa manusia harus memiliki rasa kesatuan dengan bangsanya sendiri.

5. Kemanusiaan

Dalam asas ini, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pentingnya menjalin persahabatan dan tidak bermusuhan dengan bangsa lain karena bertentangan dengan rasa kemanusiaan.

Pendidikan dalam Esensi Filosofis Ki Hajar Dewantara
Menurut esensi filosofis Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan dan kebangsaan.

Konsep Pendidikan Sekolah Taman Siswa yang Menghindari Perintah dan Hukuman

Cita-cita Ki Hajar Dewantara mewujudkan pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan yang sesuai dengan kebudayaan Timur melalui pengajaran di Sekolah Taman Siswa. Pada saat itu, sekolah kolonial yang ada hanya berfokus pada kecerdasan dan intelektualitas anak saja.

Di sisi lain, sekolah kolonial juga menekankan pengadaan tenaga kerja rendahan bagi pribumi. Akhirnya, Ki Hajar Dewantara mengubah metode pengajaran yang diterapkan oleh sistem sekolah kolonial yang berdasarkan perintah dan hukuman menjadi pendidikan dengan sistem among.

Kendati begitu, Ki Hajar Dewantara tetap berusaha untuk mengimbangi metode pembelajaran dari sistem sekolah kolonial dengan cara mendorong agar rakyat memiliki semangat kebangsaan yang tinggi melalui pendidikan. Ki Hajar Dewantara juga percaya bahwa pendidikan akan berhasil apabila sesuai dengan budaya suatu bangsa dan mengutamakan kepentingan rakyat.

Pendidikan kolonial yang mengedepankan intelektualistik dan didasarkan pada diskriminasi rasial sudah terlanjur memberikan pemahaman kepada anak-anak bumiputra terkait inferioritas (sikap minder). Oleh karenanya, Ki Hajar Dewantara merevisi model pendidikan kolonial dengan menghindari perintah dan hukuman untuk menghapuskan sistem pendidikan kolonial yang terus berjalan tanpa humanis (manusiawi), meski istilah yang digunakan santun.

Sekolah Taman Siswa sendiri mengedepankan pendidikan yang humanis, kerakyatan sehingga harapannya dapat mebebaskan dan mengarahkan bangsa Indonesia pada kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara menerapkan konsep pendidikan yang menghindari perintah dan hukuman menjadi lebih humanis dengan mengadaptasi model pendidikan Sekolah Maria Montessori dari Italia dan Rabindranath Tagore dari India, yang menurutnya sangat cocok untuk diterapkan untuk bumiputra pada masa itu.

Dalam dua sistem pendidikan yang diadopsi tersebut, tingkah laku guru menjadi sosok panutan bagi murid maupun masyarakat sehingga Ki Hajar Dewantara menyusun pegangan utama bagi guru dalam mendidik, yaitu Ing ngarsa sung tulada (guru saat berada di depan memberi contoh), Ing madya mangun karsa (guru saat berada di tengah-tengah kelas bisa membangun cita-cita) dan Tut wuri handayani (guru selalu mendukung dan mengikuti murid agar bisa mencapai kesuksesannya). Tiga perilaku guru Taman Siswa tersebut diterapkan untuk semua jenjang pendidikan di Taman Siswa. Bahkan, salah satunya dijadikan moto pendidikan Indonesia hingga saat ini, yaitu Tut Wuri Handayani.

Sejak berdiri hingga sekarang, sekolah Taman Siswa pernah mengalami perkembangan yang begitu pesat hingga berhasil memperluas cabang di berbagai kepengurusan. Kendati begitu, di era sekarang Taman Siswa tidak mengalami kesuksesan layaknya di zaman kolonial karena berbagai faktor seperti keterbatasan dana untuk membiayai operasional sekolah dan orientasi masyarakat yang berubah mengikuti perkembangan zaman.

Namun demikian, Taman Siswa tetap memegang budaya Timur yang mengedepankan semangat kebangsaan, kerakyatan, dan budi pekerti luhur. Sekolah Taman Siswa juga menjadi penggerak sekolah swasta lainnya di Indonesia untuk melakukan swadaya, swausaha, atau swakelola sekolah secara mandiri.

Tantangan Implementasi Konsep Pendidikan Taman Siswa terhadap Pendidikan Sekarang

Seiring berkembangnya zaman, pemaknaan konsep pendidikan juga ikut mengalami perubahan. Contoh sederhana seperti anggapan bahwa proses pendidikan hanya terjadi di sekolah. Tentu pandangan ini sangat berseberangan dengan Ki Hajar Dewantara yang meyakini bahwa pendidikan terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Selanjutnya, pandangan bahwa proses pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi kognitif peserta didik juga sehingga potensi afeksi, sosial, dan spiritual sepertinya tidak terlalu menjadi prioritas. Pandangan ini juga dapat mereduksi hakikat pendidikan Taman Siswa yang mengedepankan humanistik dan budi pekerti luhur.

Secara umum, berikut beberapa tantangan dalam implementasi konsep Pendidikan Taman Siswa.

1. Tujuan dan Proses Pendidikan

Hakikat pendidikan yang mengalami reduksi terhadap konsep pendidikan Taman Siswa bisa memicu timbulnya disorientasi pendidikan. Artinya, pendidikan yang awalnya diarahkan untuk tujuan membentuk kepribadian secara manusiawi justru seakan bergeser mengedepankan materialistik, layaknya sebagai sebuah lembaga bisnis.

Lebih lanjut, proses pendidikan di sekolah apabila terlalu berorientasi pada kognitif peserta didik, bisa jadi menyebabkan munculnya kerangka berpikir keliru terhadap pendidikan. Hal tersebut mungkin saja disebabkan karena proses pendidikan yang berlangsung di kelas bersifat superfisial dan tidak begitu mendalam. Bahkan, pendidikan itu mungkin cenderung hanya berupa formalitas dan memenuhi kewajiban. Ini berlawanan dengan konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang seharusnya menjadikan peserta didik merdeka secara lahir dan batin. Pendidikan perlu menjadi tempat yang menyenangkan, bukannya menjadikan sekolah sebagai tempat yang menjadi beban dan tekanan bagi peserta didik karena proses pembelajarannya.

Penguatan Karakter Bangsa melalui Inovasi Digitalisasi
Pendidikan karakter ialah upaya untuk membina para penerus bangsa agar berperilaku baik, sopan dan santun sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat

2. Konten Pembelajaran

Materi pembelajaran didominasi untuk mencerdaskan kognitif peserta didik. Meskipun tetap memasukkan aspek afektif dan psikomotorik, namun waktu guru lebih banyak tersita untuk urusan kognitif saja. Hal ini juga bisa menjadi tantangan dalam implementasi konsep pendidikan Taman Siswa di era sekarang, terutama generasi Alfa yang akrab dengan teknologi digital.

3. Hasil Pendidikan

Hasil dari pendidikan yang tidak utuh karena hanya didominasi aspek pengajaran kognitif bisa melahirkan generasi yang kaya ilmu pengetahuan, tetapi miskin nilai dan empati. Fenomena tersebut jauh dari harapan Ki Hajar Dewantara yang menginginkan peserta didik memiliki kecerdasan kognitif dan berkepribadian mulia melalui proses pengolahan aspek lahiriah (pengajaran) dan batiniahnya (pendidikan).

Demikian penjelasan artikel mengenai konsep pendidikan sekolah Taman Siswa yang menghindari perintah dan hukuman. Semoga artikel ini dapat memberikan pandangan baru mengenai pentingnya pendidikan yang menekankan pembangunan akal dan budi sesuai kebudayaan setempat dan tetap relevan mengikuti perkembangan zaman.