Kisah Inspiratif Peraih Global Teacher Prize 2020: Ranjitsinh Disale
Menjadi seorang guru merupakan pekerjaan mulia. Tenaga pengajar di sekolah tidak hanya memberikan materi dan mendisiplinkan siswa-siswinya saja, namun memberikan pengajaran moral yang berharga bagi peserta didik. Selain itu guru juga memiliki peran mencetak penerus bangsa yang berkualitas, cerdas dan mandiri. Guru adalah tombak bangsa, menjadi orang tua kedua anak di sekolah dan teladan bagi peserta didik.
Ranjitsinh Disale, seorang guru yang berasal dari pedesaan India memiliki kisah inspiratif yang patut menjadi teladan bagi tenaga pengajar lainnya. Tidak main-main, ia mendapatkan penghargaan sebagai guru terbaik oleh Global Teacher Prize pada Tahun 2020 silam. Yuk, kita simak kisahnya !
Kisah Inspiratif Peraih Global Teacher Prize 2020
Pada tahun 2009. Ranjitsinh datang di Sekolah Dasar Zilla Parishad, gedung sekolahnya “amburadul” alias bobrok, berada di antara kandang peternakan dan sebuah gudang. Prosentase kehadiran anak perempuan untuk hadir di sekolah bisa mencapai 2%. Selain itu pernikahan di usia remaja menjadi hal wajar bahkan membudaya di sana.
Sayangnya, bagi anak-anak yang mau bersekolah memiliki kendala, yakni kurikulum di sana tidak menggunakan bahasa utama (Bahasa Kannada). Hal itu menyebabkan banyak siswa yang tidak dapat belajar. Alasan Ranjitsinh kembali ke desa tersebut karena ingin meningkatkan kualitas pendidikan di sana, dengan cara mempelajari bahasa setempat dan tentu saja tidak begitu mudah.
Tak hanya menerjemahkan buku teks sekolah dalam bahasa setempat, namun melampirkan kode QR agar para siswa dapat mengaksesnya dalam bentuk audio, video presentasi, cerita, dan tugas lainnya. Setelah mendapatkan feedback dari siswa-siswinya, ia akan mengubah isi konten, tugas maupun aktivitas dalam buku tersebut agar tercipta pengalaman belajar yang lebih dipersonalisasikan sesuai karakteristik para peserta didik. Selain itu, dia menyempurnakan QR Code Textbooks dengan alat pembaca imersif serta Flipgrid dalam mempermudah anak perempuan dengan kebutuhan khusus untuk belajar.
Program buatan Ranjitsinh tidak sia-sia. Pernikahan dini di desa tersebut berkurang drastis bahkan tidak ada sama sekali dan seluruh anak perempuan di sana merasakan akses pendidikan. Tak hanya itu, sekolah ini mendapat penganugerahan sebagai sekolah terbaik di wilayah tersebut dengan 85% peserta didiknya mencapai nilai A dalam ujian tahunan. Ternyata lebih dari itu, seorang anak perempuan dari desa tersebut kini telah lulus dari Universitas. Ranjitsinh menganggap setiap mimpi tidak ada yang mustahil untuk menjadi nyata.
Tidak berhenti di desa itu saja, Ranjitsinh memperluas inovasinya “Buku Teks Kode QR” ini ke seluruh India. Maharasthra merupakan wilayah yang menjadi pionir berhasilnya program ini. Kemenlu telah mengumumkan di tahun 2017 bahwasanya mereka akan mengenalkan buku canggih tersebut di seluruh negara bagian dan diperuntukkan siswa kelas 1 hingga kelas 12. Berhasilnya program ini, HRD Ministry of India menggunakan jasa NCERT (National Council of Education Research and Training) untuk melakukan riset tentang manfaat dari QR Code Textbooks serta caranya agar bisa dikembangkan secara nasional.
Di tahun 2018, Prakash Javdekar, Menteri HRD menyatakan bahwa seluruh buku teks NCERT akan melampirkan Kode QR. Di luar pembelajaran akademik, Ranjitsinh membantu para anak-anak desa tersebut untuk menerapkan apa yang dipelajari di sekolah, mengajarkan cara-cara problem solving dalam kegiatannya sehari-hari. Dampak positif yang dirasakan wilayah Maharashtra ialah peningkatan lahan hijau yang awalnya 25% kini menjadi 33% dalam sepuluh tahun terakhir. Tercatat 250 hektar lahan di sekitar desa terselamatkan dari problem penggurunan. Maka dari itu sekolah tersebut mengantongi penghargaan sebagai “Alam Wipro untuk Masyarakat” di tahun yang sama.
Tak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, Ranjitsinh juga mengkampanyekan perdamaian antar kaum muda dalam zona konflik dengan proyek “Let’s Cross The Borders”. Apa saja isi dari proyek ini? Menghubungkan muda mudi dari Pakistan dan India, Israel dan Palestina, Iran dan Irak, serta Korea Utara dan Amerika Serikat.
Program ini berlangsung selama enam minggu. Para siswa dipertemukan dan dicocokkan dengan siswa dari negara lain agar mereka berinteraksi secara dekat dan penuh kedamaian. Lalu mereka mempersiapkan presentasi dan menyimak para pembicara untuk memahami persamaan mereka.
Hebatnya, Ranjitsinh berhasil menginisiasi 19 ribu siswa luar biasa dari delapan negara untuk masuk dalam program ini. Memanfaatkan penggunaan platform Komunitas Pendidik Microsoft, Ranjitsinh mengisi akhir pekannya dengan mengajak para peserta didik dari negara-negara tersebut untuk melakukan karyawisata secara virtual. Sungguh menarik, ada seorang guru yang mendedikasikan 24/7-nya untuk kemajuan pendidikan negaranya dan dunia.
Hal yang tak kalah menakjubkan adalah Ranjitsinh memiliki laboratorium eksperimen ilmiah (lab sains) yang ia bangun sendiri di tempat tinggalnya. Microsoft mencatat sebanyak lebih dari 85 ribu siswa dan lebih dari 1400 kelas di 83 negara secara virtual.
Tanpa kenal lelah, Ranjitsinh menyatakan bahwa ia bertekad untuk menularkan apa yang dia pelajari ke tenaga pendidik lainnya. Selama musim panas, ia berhasil melatih secara tatap muka lebih dari 16 ribu tenaga pengajar yang ditugaskan di seluruh wilayah Maharasthra. Materi yang ia berikan ialah tentang cara-cara meningkatkan pengajaran dengan penggunaan teknologi di era globalisasi ini.
Hasil tidak akan mengkhianati usaha, kisah Ranjitsinh dimuat di buku “Hit Refresh” karya CEO Microsoft, Satya Nadella di tahun 2017 silam. Ia juga masuk nominasi sebagai guru terbaik oleh Global Teacher Prize 2020 lalu dan memenangkannya dengan mengantongi 14,1 Miliar Rupiah. Dengan segala kerendahan hatinya, ia membagikan separuh hadiah kemenangannya pada sesama finalis. Artinya setiap finalis dalam nominasinya mendapatkan 55 ribu dolar AS yang berasal dari Nigeria, Italia dan Korea Selatan.
Ranjitsinh Disale terpilih dari 12 ribu nominasi dari lebih dari 140 negara. Ia juga mendapatkan komentar-komentar positif, salah satunya dari Stefania Giannini seorang Asisten Direktur Jenderal Pendidikan UNESCO. Ia mengatakan guru seperti Ranjitsinh akan menghapus ketidaksetaraan dan menumbuhkan laju ekonomi yang lebih baik. Ranjitsinh juga di-labeli sebagai penyelamat anak-anak perempuan dalam meraih pendidikan dan kesetaraan.
Dari kisah Ranjitsinh Disale, kita bisa belajar banyak bahwa menjadi tenaga pengajar tidak terkungkung dalam kelas dan kurikulum saja. Banyak cara untuk mengembangkan pendidikan di negara berkembang ini. Kreativitas, inisiatif dan keberanian sangat diperlukan untuk negara ini menemukan “Ranjitsinh” Indonesia. Kemajuan teknologi dapat memudahkan pengajar dan siswa dapat belajar kapanpun dan dimanapun. Tidak ada alasan untuk tidak belajar.
Peningkatan kualitas tenaga pengajar juga wajib “difasilitasi” dan Kemendikbud juga sudah memiliki banyak program belajar virtual, E-book gratis dan tenaga pengajar yang berkualitas. Penting juga meningkatkan kesadaran orang tua agar mengarahkan anaknya supaya belajar virtual dibandingkan memberikan gadget untuk bermain game. Pendidikan bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk para orang tua.