Homeschooling di Indonesia
Homeschooling di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh sejarah awal kemunculan konsep pendidikan ini. Homeschooling mulai dikenal sejak seorang pendidik dan penulis asal Amerika yaitu John Caldwell Holt mulai mengkritisi sistem pendidikan formal yang berjalan di Amerika saat itu dan kemudian menawarkan alternatif konsep pendidikan lain yang dikenal saat ini dengan Homeschooling.
Gagasan John C. Holt banyak dituangkannya melalui tulisan dan salah satu bukunya yang memiliki peran besar pada perkembangan Homeschooling adalah How Children Fail (1964).
Pada buku ini John.C Holt mencoba mematahkan anggapan bahwa pendidikan yang paling baik haruslah melalui jalur formal. Beliau malah memandang sistem pendidikan yang dijalankan saat itu di Amerika tidaklah ideal dan cenderung mematikan potensi, kreativitas, dan perkembangan diri anak. Menurutnya dalam pendidikan formal, anak tidak diberikan kebebasan untuk berpikir konstruktif melainkan instruktif sesuai kemauan sistem dan tujuan pendidikan yang dijalankan.
Padahal menurut John C.Holt seperti dalam bukunya How Children Fail (1964):
“Manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.”
Menurut Holt sistem yang dijalankan di sekolah membuat siswa takut dan tunduk pada ketentuan yang sudah diatur. Takut jika salah menjawab pertanyaan, takut jika nilai jelek, takut mengekspresikan diri, dan lainnya. Sementara setiap siswa memiliki potensi dan ketertarikan yang berbeda-beda dan tidak bisa senantiasa dikontrol.
Sehingga Holt menyatakan juga pada bukunya tersebut bahwa:
kegagalan akademis pada siswa bukan disebabkan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pasca pemikiran Holt yang disampaikan melalui buku-bukunya seperti How Children Fail dan How Children Learn yang mencoba mengkritisi sistem pendidikan formal, dari tahun 1960-1970 mulai terjadi adanya perbincangan yang kritis diantara orangtua dan pengamat pendidikan atas pemikiran Holt yang menawarkan konsep pendidikan Unshooling (istilah yang dipakai saat itu) yaitu pendidikan dari rumah atau di luar sekolah formal.
Ketika itu karena pemikirannya sejalan dengan apa yang dirasakkan oleh sebagaian para orangtua yaitu ketidakpuasan dengan sistem yang ada pada pendidikan formal, maka gagasan Holt ini semakin banyak dikenal luas.
Pada awal tahun 1970-an munculah Raymond Moore dan Dorothy Moor yang merupakan ilmuan pendidikan yang juga memiliki pemikiran sejalan dengan Holt. Mereka kemudian melakukan penelitian untuk melihat sejauh mana dampak dari proses pendidikan formal yang saat itu dijalankan terutama bagi anak.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education) dengan memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka.
Artinya, kesimpulan dari penelitian ini menurut Raymond, anak-anak seharusnya dididik di rumah sampai usia delapan atau sembilan tahun terlebih dahulu untuk memberi mereka kesempatan pendidikan, pelatihan psikologis, dan pemberian dasar moral yang tepat dari orang-orang terdekatnya.
Pada tahun 1976, setelah mendapat respon yang baik dari masyakarat, John.C Holt kemudian menerbitkan buku barunya yaitu Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan positif dari para orangtua homeschooler di berbagai penjuru Amerika Serikat saat itu.
Kemudian pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling. Setelah itu seiring berjalannya waktu Holt dan sesama pejuang Homeschooling lainnya termasuk orangtua Homeschooling mulai mencoba memperjuangkan legalitas dari konsep pendidikan mereka ini menjadi satu model pendidikan yang diakui secara hukum.
Meskipun banyak hambatan saat itu, namun berkat usaha advokasi Holt dan para pegiat homeschooler, pada tahun 1989 hampir seluruh negara yang memiliki Homeshcooling sudah diakui secara undang-undang dan mendapatkan akomodasi dalam praktik penyelenggaraan seperti penyediaan ujian kesetaraan dan sumber belajar oleh pemerintah.
Homeschooling di Indonesia
Kemunculan Homeschooling di Indonesia tidak begitu jelas dimulai sejak kapan. Namun yang pasti praktik pendidikan dari rumah seperti konsep Homeschooling sudah digunakan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Saat itu banyak para tokoh agama seperti kiai dan tuan guru secara khusus mendidik pendidikan dasar dan agama anak-anaknya dari rumah dan pesantren. Hal ini juga serupa dengan anak-anak bangsawan dari kerajaan-kerajaan yang yang masih eksis sebelum Indonesia merdeka, dimana sebagaian besar anak-anak mereka dididik dari rumah atau lembaga pendidikan khusus milik kerajaan/kesultanan.
Salah satu toko yang cukup dikenal memberikan contoh penerapan Homeschooling di Indonesia adalah beliau Haji Agus Salim. Meskipun beliau merupakan lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) sekolah menengah setara SMA milik pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1903, namun beliau memiliki prespektif berbeda dalam memilih jalur pendidikan bagi anak-anaknya.
Terhitung dari ke-8 anak beliau, tujuh (7) diantaranya dididik langsung oleh beliau dan istrinya dari rumah dengan kurikulum yang dibuat sendiri secara fleksibel sesuai nilai yang dianut.
Berdasarkan kutipan dari buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, istri Agus Salim menuturkan, sikap sang suami yang tidak pernah marah dalam mendidik anak-anaknya. Bahkan sikapnya dalam mendidik anak-anaknya sangat lembut dan indah.
“Kami dilarang memberikan kualifikasi kepada anak-anak, misalnya kamu nakal atau kamu jahat. Itu tidak boleh,” ujar dia.
Agus Salim senantiasa memberikan kemerdekaan bagi anak-anaknya untuk tumbuh dan berkembang sesuai jiwanya masing-masing secara wajar. Bagi Agus Salim, tugas orang tua hanya sebatas membimbing dan menuntun bukan menuntut.
Hasilnya seluruh anak beliau saat itu sukses dan bekerja diberbagai bidang, seperti biro iklan, penerjemah, asuransi, lembaga aktivis internasional, sampai menjabat sebagai tentara.
Tokoh lain yang cukup berpengaruh membawa semangat pendidikan merdeka ala Homeschooling adalah Ki Hajar Dewantara dengan Tamansiswa dan Rohana Kudus saudara Sutan syahrir. Untuk Rohana, saat itu langsung dididik oleh ayahnya yaitu Mohhamad Rasad. Rohana kecil diusia 6 tahun sudah pandai membaca dan menulis, Hal ini karena Rohana sering dibawa buku bacaan oleh ayahnya yang saat itu bekerja sebagai pegawai pemerintahan Belanda.
Kesukaannya dalam membaca dan menulis akhirnya mengantarkan beliau menjadi seorang wartawan dan mendirikan surat kabar Sunting Melayu yang merupakan surat kabar wanita pertama di Indonesia. Beliau juga tercatat sebagai wartawan perempuan pertama di Indonesia saat itu yang begitu aktif memperjuangkan isu pendidikan dan perempuan.
Perkembangan selanjutnya, Homeschooling berkembang beriringan dengan semakin kuatnya pendidikan formal, sehingga di era 80-90an eksistensi Homeschooling sedikit meredup, hal ini diakibatkan juga karena kondisi politik dan kebijakan pendidikan di era itu. Homeschooling mulai bergeliat kembali pada tahun 2003 setelah dikeluarkannya UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Setelah dikeluarkan undang-undang tersebut, keberadaan Homeschooling secara legal dan hukum sudah semakin jelas dan diakui keberadaanya. Semenjak saat itu pula mulai banyak berdiri Homeschooling baik yang berbasis keluarga, lembaga, maupun komunitas. Contoh Homeschooling yang paling populer dan memiliki jaringan yang luas adalah Homeschooling Kak Seto, Primagama, Sinergia, Bintang Mulia, dan lainnya.
Pesatnya perkembangan Homeschooling ini juga diiringi dengan makin banyaknya penyediaan sumber belajar dan lembaga kesetaraan pendidikan luar sekolah dari pemerintah seperti Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya sampai tingkat kelurahan.
Perkembangan Homeschooling yang semakin masif saat ini juga disebabkan faktor kemudahan dan keterbukaan akses pembelajaran, sehingga orangtua semakin memiliki banyak pilihan. Seperti adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan daring, yang memungkinkan proses pembelajaran bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun dengan akses sumber belajar yang fleksibel dan tak terbatas.
Selain itu menurut Prasetyawati (2006) banyak orangtua mengalihkan pendidikan anaknya menjadi Homeschooling disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua terhadap sistem pendidikan formal, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah masuk di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orang tua.
Landasan Hukum Homeschooling di Indonesia
Secara konstitusi pengakuan terhadap pendidikan di luar jalur formal sebenarnya sudah diakui dan diamanatkan secara umum pada UUD 1945, yaitu pada pasal 31 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
Ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Lebih jauh dan spesifik, pengaturan mengenai sekolah informal dan non-formal diatur pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 yang berbunyi :
Ayat (1): Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Ayat (2): Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Ayat (3): Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Secara global, dasar hukum penyelenggaraan Homeschooling merujuk pada Komitmen Internasional yaitu A World Fit For Children (Menciptakan Dunia Yang Layak Bagi Anak) tahun 2002 yang menyatakan:
”Menempatkan anak sebagai pertimbangan pertama untuk kepentingan terbaik anak; Memperhatikan tumbuh kembang terbaik anak sebagai dasar utama pengembangan manusia; Dan memberikan kesempatan pendidikan yang sama untuk setiap anak”. (www.unicef.org).
Dalam pelaksanannya di Indonesia, Homeschooling berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Kementerian Pendidikan Nasional. Sebagai lembaga pendidikan alternatif, Homeschooling yang resmi juga akan mendapat bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal.
Selanjutnya pemerintah juga mengakomadasi bagi siswa Homeshooling untuk memperoleh ijazah kesetaraan dengan menyediakan ujian paket A untuk SD, paket B untuk SMP dan paket C untuk SMA sederajat. Siswa dapat mengikuti berbagai lembaga penyedia ujian kesetaraan baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta yang sudah memiliki ijin resmi.
Artinya jika dilihat dari legal hukum, akomodasi, dan akses sumber belajar saat ini Homeschooling sepenuhnya sudah didukung dan difasilitasi oleh pemerintah dan juga masyarakat.
Jadi, pada akhirnya untuk memilih pendidikan yang terbaik untuk anak semua kembali lagi kepada keputusan orangtua dan anak itu sendiri, apakah lebih cocok mengikuti pendidikan formal, non-formal, ataukah informal. Terpenting, semua jenis pendidikan memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai proses untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan ideal seperti yang diharapkan. Salam Pendidikan.