5 Alasan Penting Ujian Nasional Perlu diganti dengan Assesmen Nasional
Tahun 2020 akan menjadi tahun terakhir dilaksanakannya ujian nasional. Hal ini dikarenakan mulai tahun 2021, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan memberlakukan pengganti ujian nasional, yaitu assesmen nasional. Ujian nasional bukan dihapuskan namun diganti formatnya melalui assesmen nasional. Format yang diganti yakni ujian per mata pelajaran sesuai kelengkapan silabus dari kurikulum. Dengan harapan assesmen nasional ini akan mirip dengan PISA atau Programme for International Student Assessment yang dibuat oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
Assesmen nasional terdiri dari assesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar yang mencakup kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter (PPK).
Seperti kata yang digunakan, bernalar menggunakan bahasa atau literasi yang dimaksud bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis suatu bacaan dan memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sementara bernalar menggunakan matematika atau numerasi bukan hanya tentang kemampuan berhitung, tetapi juga kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan di dalam suatu konteks yang abstrak atau nyata. Survei karakter sendiri akan lebih fokus pada penerapan asas-asas Pancasila yang dirasakan dan dilakukan oleh para siswa. Dengan adanya survei karakter diharapkan pemerintah mengetahui bagaimana implementasi gotong royong di lingkungan sekolah, kemapanan siswa terhadap kebahagiaan di sekolah hingga masih ada atau tidaknya pembullyan.
Apakah yang mendasari pergantian tersebut? Simak kelima alasan penting ujian nasional perlu diganti dengan assesmen nasional berikut ini.
1. Rendahnya Tingkat Kognitif yang Dicapai Ujian Nasional
Salah satu alasan adanya pergantian ini dikarenakan oleh rendahnya tingkat kognitif yang dicapai dari hasil ujian nasional sehingga membutuhkan konten yang mengarah ke level kognitif lebih tinggi. Dulu mungkin ujian nasional dianggap hal yang tepat. Tapi ternyata yang dibutuhkan saat ini oleh para siswa adalah kemampuan bernalar, bukan penguasaan informasi.
Tantangan terhadap penalaran pun jangan sampai membuat para siswa stres di akhir sesi belajar. Hal tersebut harus dikaji ulang pada konteks yang lebih luas yakni perbaikan kultur belajar karena banyak kajian tentang ujian nasional yang membahas perubahan pola belajar siswa. Belajar pun bukan lagi masalah menyelesaikan latihan soal, tetapi juga menyelesaikan masalah yang lebih bervariasi.
2. Perlunya Perubahan Paradigma Masyarakat terhadap Evaluasi Pendidikan
Banyak kalangan yang menganggap bahwa siswa cukup mempelajarai materi yang akan diujiankan di ujian nasional saja dan menganggap kegiatan lainnya itu bukan prestasi jika nilai ujian nasionalnya jelek. Di sinilah tugas guru yang sebenarnya karena seharusnya selain mengetahui karakter siswanya, guru pun harus menentukan anak tersebut dapat berkembang atau tidak, membutuhkan bimbingan atau tidak.
Diharapkan dengan alasan perlunya perubahan paradigma masyarakat terhadap evaluasi pendidikan ini dapat mengubah pola pikir masyarakat bahwa belajar itu harus dilakukan sepanjang hayat. Bukan hanya menjelang ujian nasional saja. Penting membuat siswa rajin belajar dan menyadari bahwa belajar itu sebuah perjalanan panjang. Itu sebabnya mereka harus diberikan tantangan yang tepat setiap saat sehingga kesehariannya dipenuhi dengan tantangan.
3. Kurang Ideal dalam Mengukur Prestasi Belajar
Tugas evaluasi pendidikan adalah mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil, tidak hanya mengevaluasi capaian siswa secara individu. Perbaikan mutu pendidikan Indonesia yang tidak dapat dicapai dari hasil ujian nasional nantinya dapat terlihat dari potret layanan dan kinerja setiap sekolah yang merupakan hasil asesmen nasional ini sehingga dapat menjadi cermin untuk bersama-sama melakukan refleksi.
Misalnya pada survei lingkungan belajar, nantinya digunakan untuk mengevaluasi dan memetakan aspek pendukung kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah. Kelak akan ada pemetaan dasar (baseline) dari kualitas pendidikan yang nyata di lapangan, sehingga tidak ada konsekuensi bagi sekolah dan siswa karena hanya berupa pemetaan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Dapat pula dijadikan acuan untuk bisa memberikan umpan balik ke sekolah-sekolah agar dapat menciptakan lingkungan sekolah yang membuat siswa lebih bahagia dan lebih kuat terutama dalam memahami dan menerapkan asas pancasila.
4. Beban Semua Pihak
Hingga saat ini, materi ujian nasional terlalu padat sehingga fokus siswa cenderung menghafal materi dan bukan pada kompetensi belajar. Ujian nasional yang menjadi indikator keberhasilan belajar siswa sebagai individu menimbulkan beban stres pada siswa, guru, hingga orang tua.
Banyaknya siswa yang mengikuti bimbingan belajar di luar waktu sekolah demi keberhasilan ujian nasional pun menjadi beban bagi orang tua dalam hal biaya. Orang tua tidak perlu lagi menyediakan hingga mempersiapkan sesuatu yang khusus untuk meningkatkan keberhasilan anaknya dalam menghadapi assesmen nasional.
5. Tak Menyentuh Karakter Siswa
Karena terlalu fokus pada nilai dan hapalan, banyak siswa yang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Hal ini cukup menjadi perhatian Mendikbud sebagai garis depan dalam menghasilkan output pendidikan.
Pada assesmen nasional yang terdiri dari assesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar yang mencakup kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter (PPK).
Seperti kata yang digunakan, bernalar menggunakan bahasa atau literasi yang dimaksud bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis suatu bacaan dan memahami konsep di balik tulisan tersebut.Sementara bernalar menggunakan matematika atau numerasi bukan hanya tentang kemampuan berhitung, tetapi juga kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan di dalam suatu konteks yang abstrak atau nyata. Survei karakter sendiri akan lebih fokus pada penerapan asas-asas Pancasila yang dirasakan dan dilakukan oleh para siswa. Dengan adanya survei karakter diharapkan pemerintah mengetahui bagaimana implementasi gotong royong di lingkungan sekolah, kemapanan siswa terhadap kebahagiaan di sekolah hingga masih ada atau tidaknya pembullyan.
Tak hanya itu, soal ujian nasional yang dibuat secara sentralistik di Jakarta, membuat pemerintah menganggap sama rata terhadap kemampuan, lingkungan, dan perbedaan yang dimiliki oleh siswa. Pada akhirnya, yang terjadi adalah keseragaman standar kemampuan. Pemerintah seakan lupa dengan tak mempertimbangkan kondisi geografis dan kelengkapan sarana dan prasarana di satu wilayah.
Dengan demikian, dengan adanya ujian nasional justru membuat nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan yang menghargai setiap perbedaan manusia terdengar omong kosong belaka. Oleh sebab itu, mengganti ujian nasional dengan assessmen nasional dirasa tepat. Hal ini dikarenakan ujian nasional selain tidak mampu menjawab permasalahan kualitas pendidikan, juga membuat output pendidikan yakni siswa banyak melenceng dari fitrah pendidikan itu sendiri.
Ada banyak harapan yang digantungkan pemerintah pada pergantian ujian nasional menjadi assesmen nasional ini, salah satunya adalah untuk dapat mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar siswa menjadi lebih baik, meski masih ada banyak pihak yang menentang.